Beberapa
tahun terakhir ini, pendidikan kita diingatkan kembali akan pentingnya
menanamkan karakter dalam semua proses pembelajaran. Pendidikan karakter telah
menjadi gaung yang menggetarkan pendidikan kita. Betapa tidak? Karena selama
ini, kita dininabobokan dan hanya berkonsentrasi pada “pengetahuan/kognitif”
semata, sehingga melupakan aspek lain yang lebih penting, yaitu karakter. Hal
ini dapat terlihat dengan gencarnya pemerintah menaikkan standar pendidikan
dengan memberlakukan Ujian Nasional, bukan hanya dikalangan sekolah lanjutan pertama
dan lanjutan atas (SMP/Mts, SMA/MA) saja. Pemerintah juga memberlakukannya
kepada tingkat sekolah dasar dan sederajat.
Dengan
adanya standar pendidikan tersebut semua sekolah (mulai SD/MI, SMP/MTsdan
SMA/MA) berlomba-lomba untuk dapat mengejar standar tersebut. Pembelajaran disekolah
di setting sedemikian rupa agar dapat mencapai hasil yang memuaskan,
yakni dapat lulus Ujian Nasional. Berbagai macam pembelajaran tambahan
diberlakukan di sekolah-sekolah. Tidak hanya sampai disitu saja, anak didik
disuruh juga mengikuti bimbingan belajar, baik dari sekolah maupun lembaga
tertentu yang menyediakan bimbingan belajar. Hasilnya memang cukup memuaskan.
Ini dapat dilihat dengan terus meningkatnya standar angka kelulusan setiap
tahunnya dan semakin rendahnya tingkat ketidaklulusan siswa disetiap tingkat
satuan pendidikan.
Hal ini bertolak belakang dengan fakta di
lapangan. Sekarang ini kita lihat, bagaimana tingkah polah anak-anak sekolah. Tidak
sedikit para remaja yang tersangkut kasus narkoba, pergaulan bebas, merokok di depan
umum, mencuri, berkelahi, berbohong dan sebagainya. Saat ini, sering kita dengar
dan lihat di media cetak dan elektronik kasus-kasus video porno yang diperankan
oleh remaja yang mereka itu masih berstatus siswa disekolahnya. Bahkan beberapa
waktu yang lalu, ada seorang siswi yang menjadi germo teman-temannya untuk dijual
kepada pelanggannya. Baru-baru ini, kita lihat tawuran antar pelajar dijalan
raya yang padat lalu lintas. Ketika diusut, ternyata masalahnya hanya sepele
yakni bermula dari saling ejek. Dan masih banyak lagi kasus-kasus jelek yang menimpa
anak-anak didik kita.
Ini
merupakan potret buram ‘kegagalan’ pendidikan kita. Sehingga perlunya sebuah
terobosan dalam pendidikan kita, agar akhlak atau budi pekerti tertanam didalam
jiwa anak didik. Karena itu, program pendidikan karakter yang sekarang ini mulai
digaungkan pemerintah adalah suatu keniscayaan dan tidak dapat ditawar-tawar
lagi. Potret buram anak remaja dewasa ini merupakan sebuah indikator perlunya
penanaman akhlak, budi pekerti atau karakter yang baik.
Guru
sebagai ujung tombak pendidikan, memilki peran yang sangat sentral dalam
mewujudkan siswa yang berkarakter. Guru selain dituntut untuk menyampaikan
materi, juga dituntut untuk menjadi ‘GURU – digugu dan ditiru’ yang sebenarnya.
Guru harus bisa menanamkan moral, nilai-nilai etika, estetika, budi
pekerti/akhlak yang luhur dan sebagainya. Memberi penghargaan (prizing)
kepada yang berprestasi, dan hukuman kepada yang melanggar, menumbuhsuburkan
nilai-nilai yang baik dan sebaliknya mengecam dan mencegah berlakunya
nilai-nilai yang buruk. Selanjutnya menerapkan pendidikan berdasarkan karakter
(character based education) dengan menerapkan ke dalam setiap pelajaran
dan juga dalam kehidupan nyata. Lalu apa realitas yang terjadi?
Sebagai
seorang guru mungkin tidak menyadari apa yang diperbuatnya selama ini adalah
hal yang benar. Tidak jarang kita lihat disebuah sekolah ada nama papan plang
yang bertuliskan di gerbang sekolah “Sekolah ini bebas asap rokok”, atau “No
Smoking”, atau “Dilarang Merokok”, atau “Daerah Bebas Rokok”, dan juga
slogan-slogan lain yang tak kalah hebatnya. Tetapi sadarkah kita, bahwa masih
banyak guru yang senang berteman dan bahkan ber’Tuhan’kan pada rokok
ini, baik secara bersembunyi ataupun terang-terangan.
Bagaimana
kita bisa melarang murid untuk tidak merokok dan membebaskan sekolah dari asap
rokok, sedangkan guru-gurunya juga merokok. Tidak adil memang. Tapi itulah
resiko yang harus diambil apabila kita ingin menjadikan pendidikan kita bisa
berkarakter. KH. Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) pernah bertutur dengan 3M-nya,
yaitu Mulailah dari diri sendiri, Mulailah dari yang kecil dan Mulailah saat
ini. Karena itu, seorang guru harus bisa
melihat dirinya sendiri (sudah baik atau belum) baru menyuruh siswanya. Hal ini
perlu, agar apa yang kita sampaikan dan kita perintahkan kepada siswa tidak
menjadi bumerang dan ejekan bagi guru tersebut.
Banyak
guru yang menjadi marah kalau muridnya terlambat datang ke sekolah, sedangkan
apabila gurunya telat datang, betapa banyak alasan yang disampaikan pada
muridnya, dan mungkin juga masih banyak kelemahan-kelemahan kita sebagai guru,
yang tidak mendukung tercapainya pendidikan berkarakter di sekolah, seperti
membuang sampah sembarangan, mengajar asal-asalan, mengejek murid, berlaku dan
berkata kasar terhadap murid, tidak jujur, datang terlambat, sombong/angkuh, malas,
dan sabagainya.
Guru
harus bisa bercermin dengan Sang teladan sejati, yaitu Nabi Muhammad Saw. Beliau
sebelum diangkat menjadi rasul dikenal orang-orang Mekkah dengan julukan ‘Al-Amin’
yang berarti jujur. Rasulullah Saw selain Nabi dan Rasul juga sebagai seorang
guru bagi sahabatnya. Dalam shirah nabawiah, kita mengenal sosok rasul yang rendah
hati, jujur, berbicara dengan lemah lembut, selalu menolong orang yang
kesusahan, tidak suka marah, tidak pernah membentak atau menghardik, selalu
tersenyum manis, memberi salam terlebih dahulu apabila bertemu, duduk sama
rendah dengan sahabat, menengok orang sakit, sederhana, bermusyawarah dalam
mengambik keputusan dan masih banyak contoh teladan yang diberikan rasul kepada
umatnya. Sehingga wajar saja Beliau diutus kedunia ini untuk menyempurnakan
akhlak. Karena dengan akhlak yang baik ajaran Islam dapat diterima oleh semua
kalangan di dunia sampai saat ini dan yang akan datang.
Untuk
itu, masih jujurkah kita dengan perbuatan-perbuatan diatas? Atau sadarkah akan
kekurangan-kekurangan yang kita miliki?. Kita harus ingat bahwa guru adalah
profesi yang amat mulia, mendidik dan mengajarkan pengalaman baru bagi anak
didik. Untuk menjadi seorang guru yang berkarakter tidaklah mudah. Diperlukan
suatu usaha yang kontinu/berkesinambungan agar bisa memperolehnya. Untuk itu,
seorang guru yang berkarakter harus mengetahui apa peran dan tugasnya sebagai
seorang guru. Karena dengan mengetahui tugas dan perannya sebagai guru, maka dia
akan sadar akan tanggung jawabnya yang besar sebagai seorang guru. Dalam hal
ini ada beberapa peran seorang guru agar bisa menjadi guru yang berkarakter,
diantaranya adalah sebagai berikut :
Pertama,
Mencintai anak didik.
Cinta yang tulus kepada anak didik adalah modal awal dalam mendidik anak. Guru
menerima anak didiknya apa adanya, mencintainya tanpa syarat dan mendorong anak
untuk melakukan yang terbaik pada dirinya. Penampilan yang penuh cinta adalah
dengan senyum, sering tampak bahagia dan menyenangkan dihadapan anak didik. Memperhatikan
dan menyapanya dengan lemah lembut akan membuat hubungan yang dekat dengan anak
didik. Anggaplah anak didik kita seperti anak sendiri, sehingga dalam mengajar
dan mendidik disekolah seorang guru tulus dan ikhlas mengharapkan ridha Allah
swt.
Kedua,
Bersahabat dengan anak dan menjadi teladan bagi anak. Guru harus bisa
digugu dan ditiru oleh anak. Oleh karena itu, setiap apa yang diucapkan di
hadapan anak harus benar dari sisi apa saja, yaitu keilmuan, moral, agama dan
budaya. Cara penyampaiannya pun harus ‘menyenangkan’ dan beradab. Ia pun harus
bersahabat dengan anak-anak tanpa ada rasa kikuk, lebih-lebih ada rasa angkuh.
Anak senantiasa mengamati perilaku gurunya dalam setiap kesempatan. Tidak hanya
di lingkungan sekolah bahkan di luar sekolah pun guru akan tetap menjadi
teladan bagi siswanya.
Ketiga,
Mencintai pekerjaan guru. Guru yang mencintai pekerjaannya akan senantiasa
bersemangat. Setiap tahun ajaran baru adalah dimulainya satu kebahagiaan dan
satu tantangan baru. Guru yang hebat akan mencintai anak didiknya satu persatu,
memahami kemampuan akademisnya, kepribadiannya, kebiasaannya dan kebiasaan
belajarnya. Guru yang cinta dengan profesinya akan menjadi guru yang tulus
ikhlas tanpa pamrih dalam mendidik siswanya menjadi orang yang cerdas,
berakhlak mulia dan tentunya menjadi anak yang berguna bagi bangsanya.
Keempat,
Luwes dan mudah beradaptasi dengan perubahan. Guru harus berpenampilan yang
pantas dan menarik. Dalam berpakaian guru harus rapi dan bersih. Dengan
penampilan yang baik wibawa seorang guru akan tergambar. Selain itu, guru juga harus
terbuka dengan teknik mengajar baru, membuang rasa sombong dan selalu mencari
ilmu sebanyak mungkin. Ketika ke kelas, guru harus dengan pikiran terbuka dan
tidak ragu mengevaluasi gaya mengajarnya sendiri, dan siap berubah. Setiap
kritikan dianggap sebagai sebuah evaluasi yang harus terus dikembangkan untuk
kemajuan pembelajaran yang akan datang.
Kelima,
Tidak pernah berhenti belajar. Dalam rangka meningkatkan
profesionalitasnya, guru harus selalu belajar dan terus belajar. Kebiasaan
membaca buku sesuai dengan bidang studinya dan mengakses informasi aktual tidak
boleh ditinggalkan. Guru tidak boleh merasa puas dengan pengetahuan yang
dimilikinya saat ini. Guru harus bisa beradaptasi dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi dewasa ini. Sehingga wawasan keilmuannya menjadi
bertambah dan bisa mengajarkannya kepada anak didiknya dengan lebih baik dan
berbobot.
Apabila ciri-ciri sederhana di atas dimiliki
oleh guru, maka guru tersebut bisa dikatakan sebagai guru yang berkarakter. Guru
yang akan menjadi teladan bagi siswa-siswanya, guru yang dapat digugu dan
ditiru. Seorang guru yang diharapkan bisa memperbaiki akhlak atau budi pekerti siswa
yang sekarang ini mulai luntur akibat derasnya terjangan globalisasi. Perkembangan
teknologi yang menyebabkan semakin terbukanya arus informasi yang tanpa batas menyebabkan
anak remaja dewasa ini bebas mengakses apa saja. Budaya-budaya luar yang tidak
sejalan dengan budaya kita dan juga agama dengan gampang bisa masuk dan bahkan
merasuki pola pikir anak remaja kita. Terbukanya arus informasi juga
menyebabkan tertutupnya hubungan antara anak dengan orang tua, antara anak
dengan masyarakat, dan bahkan antara anak dengan agamanya. Hal ini membuat anak
menjadi kehilangan jati dirinya. Untuk itu diharapkan seorang guru yang
berkarakter dapat membangun kembali ‘emosional dan spiritual’ anak agar bisa
kembali bangkit dan tentunya menjadi lebih baik, sehingga bangsa ini akan menjadi
bangsa yang bermartabat, berakhlak mulia, dan bangsa yang berperadaban. Semoga
bisa! Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar