Dalam tulisan di Opini Tribun Forum, 3 Februari
2018 yang berjudul ‘Menegakkan Martabat Guru’ yang ditulis Bapak Moh Yamin,
menjelaskan sebuah fenomena yang sangat menyesakkan hati guru-guru di
Indonesia. Ada sebuah kejadian yang menghebohkan dunia pendidikan di Indonesia
kembali terjadi. Pada hari Kamis 1 Pebruari 2018 seorang Guru kesenian di SMA
Negeri 1 Torjun Sampang Jawa Timur yang bernama Budi Cahyono tewas setelah
dianiaya oleh siswanya sendiri. Budi merupakan mantan aktivis Lembaga Seni
Mahasiswa Islam (LSMI) Malang. Dia dikenal sebagai aktivis seni dan aktif di
LSMI Malang, yakni sebuah lembaga seni mahasiswa di bawah naungan organisasi
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Malang. Dalam tulisan itu, MY mengatakan
bahwa guru tanpa perlindungan.
Dengan melihat kasus kekerasan yang berujung
meninggalnya seorang guru honorer di Sampang itu, MY mengatakan bahwa fenomena
kekerasan terhadap guru sesungguhnya menjadi
bukti nyata bahwa negara sudah abai terhadap hak guru agar mereka mampu
menjalankan tugasnya sebagai pendidik bagi bangsa. MY juga mengatakan bahwa
fenomena kekerasan terhadap guru ibarat gunung es yang menyimpan bom waktu yang
selanjutnya berpotensi dapat menghancurkan marwah guru. Ini juga memberikan
ilustrasi bahwa semakin jauh guru untuk mendapatkan perlindungan. Saya sangat
sependapat dengan pernyataan MY itu. Memang selama ini guru tidak mendapatkan
perlindungan yang berarti dari negara. Aturan perundang-undangan yang berlaku
dinegara ini tidak berpihak kepada guru. Memang sebelumnya ada angin segar bagi
guru untuk mendapat perlindungan hukum ketika terbitnya PP No. 74 tahun 2008
yang sekarang telah diperbarui menjadi PP No. 19 Tahun 2017. Dalam PP itu
disebutkan pada Pasal 39 ayat 1 bahwa ‘Guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta
didiknya yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan,
peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang ditetapkan Guru, peraturan
tingkat satuan pendidikan, dan peraturan perundang-undangan dalam proses
pembelajaran yang berada di bawah kewenangannya’. Lebih tegas masalah perlindungan
guru disebutkan pada Pasal 40 ayat 1‘Guru berhak mendapat perlindungan dalam
melaksanakan tugas dalam bentuk rasa aman dan jaminan keselamatan dari
Pemerintah, Pemerintah Daerah, satuan pendidikan, Organisasi Profesi Guru, dan/atau
Masyarakat sesuai dengan kewenangan masing-masing. Dan pada ayat 2 dinyatakan
‘Rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diperoleh Guru melalui perlindungan : hukum; profesi;
dan keselamatan dan kesehatan kerja. Dan pada pasal 41 ayat 1 ‘Guru
berhak mendapatkan perlindungan hukum dari tindak kekerasan, ancaman, perlakuan
diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik,
orang tua peserta didik, Masyarakat, birokrasi, atau pihak lain’.

Dalam aturan di PP itu jelas sekali dinyatakan
bahwa guru sebagai sebuah profesi mendapatkan kewenangan dalam memberi sanksi
yang sesuai dengan peraturan dan etika pendidikan. Selain itu guru juga diberi
perlindungan hukum dalam menjalankan profesinya. Akan tetapi hal itu ketika
dihadapkan kepada aturan dalam Tata Negara kita menjadi tidak berlaku. Dalam
aturan ketatanegaraan dinyatakan bahwa Undang-undang itu lebih tinggi dari
Peraturan Pemerintah (PP). Karena itu PP itu menjadi tidak relevan lagi ketika
ada UU yang mengatur tentang tindak kekerasan terhadap anak dibawah umur. Belum
lagi para aktivis HAM yang juga ikut-ikutan menyoroti tindak kekerasan
tersebut. Dengan alasan HAM didukung oleh UU HAM maka mereka menyatakan bahwa
guru yang melakukan tindak kekerasan terhadap siswanya bisa dipidanakan, karena
melanggar HAM.
Kasus diatas merupakan sebuah pukulan bagi
dunia pendidikan kita. Tindak kekerasan guru terhadap murid sudah sering kita
dengar. Guru yang menganiaya muridnya dipidanakan oleh orang tua dan murid itu
sendiri. Sehingga kebebasan guru dalam memberikan pengajaran dan pendidikan
disekolah menjadi terhalang. Tidak jarang seorang guru yang melihat tingkah
polah anak didiknya yang sudah keterlaluan tidak berani menegurnya. Siswa yang
berbuat tidak senonoh terhadap teman wanitanya hanya diberikan teguran. Sanksi
berat paling diskorsing, atau disuruh pindah ke sekolah lain. Kepala Sekolah
pun kadang-kadang tidak berani memberhentikan siswa yang ‘nakal’. Sebab pihak
pemerintah daerah, provinsi dan pusat
kadang ikut campur dalam urusan sekolah. Mereka beralasan bahwa
pendidikan disekolah itu wajib 12 tahun, dimulai dari SD 6 tahun, SLTP 3 tahun
dan SLTA 3 tahun. Hal ini menjadi bumerang bagi sekolah untuk menindak siswa
yang sudah keterlaluan dan sering membuat kegaduhan. Sungguh kasihan nasib
guru-guru kita. Niatnya tulus ingin memberikan pengajaran dan pendidikan sebaik
mungkin tapi justru akibat olah segelintir siswa yang ‘nakal’ bisa berurusan
dengan hukum. Mereka tidak membayangkan, hanya karena menjewer dan memukul yang
tidak terlalu keras bisa masuk penjara.
Tugas seorang guru itu sangat mulia. Walaupun
hanya seorang honorer yang menerima gajih ala kadarnya, tapi seorang guru akan
tetap semangat dalam memberikan ilmu pengetahuan kepada siswanya. Mereka
berharap, agar semua siswa yang diajarnya menjadi orang yang berguna bagi
bangsa dan negara. Guru tidak mengharapkan balasan dari siswanya ketika
berhasil kelak. Bahkan guru akan bangga dan terharu ketika melihat anak-anak
didiknya menjadi orang yang berhasil dikemudian hari. Guru itu ditiru dan di
gugu, dimanapun ia berada. Tidak ada seorang guru pun yang berniat untuk
menganiaya siswanya. Walaupun guru tersebut memiliki karakter emosional yang
tinggi. Tidak mungkin guru itu menganiaya siswanya kalau tidak ada sebabnya.
Guru yang baik, ketika melihat siswanya melakukan pelanggaran terhadap tata
tertib disekolah, langkah pertama yang dilakukannya adalah menegurnya. Kalau
masih melanggar akan ditegur lagi dan melanggar lagi akan diberikan sanksi yang
mendidik, seperti lari, menyapu ruangan atau halaman, baca UUD atau Pancasila,
push up, dan sebagainya. Guru akan bertindak sedikit agak keras kalau
pelanggaran itu terus terulang.
Melihat fakta diatas, UU yang berisi tentang
jaminan hukum bagi profesi guru merupakan sesuatu yang emergenci. Tugas dari pemerintah
bersama DPR untuk segera merumuskan UU yang berpihak kepada guru untuk
menciptakan rasa aman dan nyaman dalam memberikan pendidikan yang baik. Anak
didik harus di didik menjadi generasi yang cerdas dan berakhlak mulia. Ini
merupakan tugas pokok seorang guru. Untuk menjalankan tugas mulia itu, guru
harus didukung oleh segenap pihak, baik negara maupun masyarakat. Dengan
demikian, kita bisa berharap mudah-mudahan kedepan tidak ada lagi kekerasan
yang terjadi disekolah baik terhadap siswa maupun guru. Semoga!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar