Senin, 7 Mei 2018 dalam Rubrik Jendela di
Banjarmasin Post, Prof. Mujiburrahman menulis dengan judul Ironi Karya
Akademis. Beliau menceritakan bagaimana seorang akademisi yang notabene nya
adalah seorang Dosen di perguruan tinggi yang seharusnya mempunyai sebuah karya
tulis, justru sebaliknya. Seorang akademisi menulis di media massa maupun di jurnal
ilmiah baik Nasional maupun Internasional adalah sebuah kebutuhan akademiknya. Dia
menulis bukan untuk mengejar upah, jabatan, apalagi gelar yang lebih tinggi. Seorang
akademisi harus mengeluarkan kemampuan intelektualnya untuk meneliti, mengkaji
dan menelaah ilmu pengetahuan sesuai dengan bidangnya untuk kemaslahatan orang
banyak. Akan tetapi, tulis Prof. Mujiburrahman, semua itu merupakan hal yang
sangat ironis dengan kenyataannya. Beliau menjelaskan, para akademisi menulis
karya ilmiah, baik berupa buku, artikel di media masa, maupun menulis di jurnal
ilmiah yang bersifat Nasional dan Internasional hanya untuk mendapatkan gelar
profesor dan ujung-ujungnya adalah ‘duit’ yakni mendapatkan tunjangan
kehormatan dan gengsi.
Begitu pula dalam profesi yang serupa, yakni
guru. Dalam Undang-Undang nomor 14 tahun 2015 tentang Guru dan Dosen disebutkan
pada pasal 2 ayat 1 bahwa Guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga
profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan
anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Sedang pada pada pasal 3 ayat 1 disebutkan bahwa
Dosen mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan
tinggi yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Artinya, Guru dan
Dosen merupakan profesi yang sama, bedanya adalah objek yang menjadi sasaran pendidikan
dan pengajarannya.
Kalau dalam profesi guru menulis bukan untuk
mendapatkan gelar profesor, akan tetapi merupakan sebuah kewajiban untuk
kenaikan pangkat ke jenjang yang lebih tinggi. Menurut Peraturan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 16 Tahun 2009,
seorang guru yang akan naik pangkat dari III/b terus sampai ke pangkat IV/e
harus memenuhi salah satu unsur dari Profesi Berkelanjutan (PKB). Salah satu unsur
PKB yang harus dimiliki seorang guru adalah Karya Tulis Ilmiah. Artinya,
seorang guru yang akan naik pangkat harus menulis. Dalam peraturan Menpan &
RB disebutkan bahwa tulisan ilmiah guru tersebut masuk dalam kategori Publikasi
Ilmiah. Publikasi ilmiah mencakup tiga kelompok, yaitu Presentasi pada forum
ilmiah, Publikasi berupa hasil penelitian atau gagasan ilmu bidang pendidikan
formal, dan Publikasi buku teks pelajaran, buku pengayaan, dan pedoman guru.
Dalam ketentuannya, seorang guru yang akan naik pangkat mempunyai kewajiban
untuk melakukan publikasi ilmiah. Setiap jenjang pangkat yang dituju memiliki
perbedaan dalam jumlah angka kreditnya ketercapaiannya. Dan juga, semakin
tinggi jenjang pangkat yang akan dicapai, maka jenis publikasi ilmiahnya pun
juga semakin tinggi tingkat kesulitannya.
Seorang guru dituntut memiliki karya tulis
ilmiah mulai dari kenaikan pangkat III/b sampai IV/e. Pangkat III/b ke III/c
jumlah angka kredit Karya tulis ilmiahnya adalah 4, III/c ke III/d adalah 6,
III/d ke IV/a adalah 8, IV/a ke IV/c adalah 12, IV/c ke IV/d adalah 14, dan
IV/d ke IV/e adalah 20. Selain itu, kenaikan pangkat dari jenjang III/b sampai
ke jenjang III/d bebas dalam memilih jenis karya tulis ilmiahnya, yang penting
memenuhi angka kredit yang sudah ditentukan sesuai dengan peraturan. Karya
tulis ilmiahnya bisa berupa artikel, makalah, karya tulis ilmiah populer,
diktat/modul, karya terjemahan, Penelitian Tindakan Kelas (PTK), buku
pelajaran, buku pedoman guru dan sebagainya. Hal itu akan berbeda ketika mau
naik pangkat ke IV/a sampai ke IV/e. Ketika mau naik dari III/d ke IV/a seorang
guru wajib melakukan 1 penelitian maksimal 2 tahun. Naik dari IV/a ke IV/c guru
wajib melakukan 1 penelitian di tambah lagi dengan 1 tulisan yang dimuat
dijurnal yang ber ISSN. Naik lagi dari IV/c ke IV/e guru wajib melakukan 1
penelitian ditambah lagi 1 tulisan yang dimuat dijurnal yang ber ISSN serta 1
buku yang ber ISBN/BSNP.
Begitulah, proses kenaikan pangkat guru yang
saat ini berlakubagi guru. Untuk memenuhi unsur karya tulis ilmiah itu, seorang
guru selama 4 tahun harus ada menulis agar unsur publikasi ilmiah itu
terpenuhi. Dari sinilah, muncul berbagai kendala dan masalah. Banyak guru-guru
kita tidak bisa menulis karya tulis ilmiah. Jangankan membuat karya tulis
penelitian, menulis makalah singkat pun banyak yang tidak bisa. Lebih dari itu,
menulis artikel selembar dua lembar kertas A4 juga tidak mampu. Sehingga banyak
dikalangan guru ketika mau naik pangkat meminta bantuan kepada orang yang bisa
untuk membuatkan karya tulis ilmiahnya. Hal ini tidak gratis, tentu ada imbalan
jasa dan pengganti biaya cetak kertas ketika diprint out. Selain itu, ada yang merasa
mampu menulis, baik karya tulisan penelitian, makalah, artikel dan sebagainya.
Akan tetapi karya tulis itu merupakan copy paste karya orang lain yang diambil
di internet. Dia dengan bangganya mendownloud dan merubah nama si penulis
dengan namanya. Hal ini memerlukan kejelian dan keprofesionalan dari para TIM
Asesor yang memeriksa berkas usulannya. Karena yang memberikan kepantasan dan keabsahan
dari karya tulisnya adalah kewenangan TIM Asesor yang yang sudah ditunjuk oleh
instansi tertentu. Kalau menurut Tim Asesor layak, maka berkas usulan kenaikan
pangkatnya akan diterima bisa naik pangkat ke jenjang selanjutnya.
Banyak persoalan guru dalam ‘merekayasa’ karya
tulis ilmiahnya untuk bisa naik pangkat. Hal ini merupakan sebuah ironi bagi
dunia pendidikan kita di Indonesia. Seyogyanya peraturan itu dibuat dengan
tujuan baik dan mulia, agar dunia tulis menulis dikalangan guru bisa berkembang
dengan baik. Seorang guru hendaknya tidak hanya mengajar dan mendidik. Hal itu
merupakan tugas pokok yang harus dilaksanakan. Akan tetapi, seorang guru juga harus
memiliki kemampuan inteletual yang mumpuni. Dia ‘haus dan dahaga’ terhadap ilmu
pengetahuan yang terus berkembang dengan pesatnya. Untuk meghilangkan atau mengurangi
haus dan dahaganya kepada ilmu pengetahuan itu, diantaranya dengan membaca dan
menulis. Semakin banyak ilmu yang didapat dari proses membaca yang dilakukannya
akan terasa membekas didalam jiwanya ketika mampu ditulis dan diulasnya kembali
menjadi sebuah tulisan. Tulisan yang lahir dari pemikiran, penelitian dan
perenungan akan menghasilkan manfaat yang besar bagi dirinya dan juga bagi
orang lain. Tulisan yang baik akan terus dibaca selama tulisan itu masih ada
dan tersimpan dalam catatan. Apalagi, kalau menulis itu diniatkan untuk
kebaikan dan ke maslahatan orang banyak, tentu akan bernilai pahala yang besar
bagi si penulisnya.
Dengan terus menulis, merupakan bentuk dukungan
terhadap Program Pemerintah saat ini, yakni Gerakan Literasi Nasional. Di mana
gerakan literasi itu sudah digaungkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ke
seluruh pelosok daerah di Indonesia, bahkan sudah masuk ke sekolah-sekolah baik
Tingkat Dasar, Tingkat Pertama, dan Menengah Atas. Dengan adanya Gerakan
Literasi Nasional ini, diharapkan semua komponen yang terlibat dalam dunia
pendidikan lebih menggiatkan lagi minat baca dan menulis dikalangan pendidik,
tenaga kependidikan dan siswanya. Kalau semua orang sudah bisa membaca, apalagi
mau menuliskannya maka pendidikan di Indonesia akan berkembang dengan pesat. Semoga!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar