MENYEBARLUASKAN KEBAIKAN

Web ini Kumpulan tulisan kajian keagamaan yang menarik berdasarkan Al Qur’an dan Hadits Nabi Saw. Selain tulisan, Web juga berisi berita menarik seputar Madrasah, Video Tiktok dan Youtube yang baik untuk ditonton. Ikuti terus kajiannya, jangan sampai terlewatkan. Baca semua tulisannya. Semoga mendapatkan kebaikan. Amin

Senin, 14 Mei 2018

Ironi Karya Tulis Ilmiah Guru

Senin, 7 Mei 2018 dalam Rubrik Jendela di Banjarmasin Post, Prof. Mujiburrahman menulis dengan judul Ironi Karya Akademis. Beliau menceritakan bagaimana seorang akademisi yang notabene nya adalah seorang Dosen di perguruan tinggi yang seharusnya mempunyai sebuah karya tulis, justru sebaliknya. Seorang akademisi menulis di media massa maupun di jurnal ilmiah baik Nasional maupun Internasional adalah sebuah kebutuhan akademiknya. Dia menulis bukan untuk mengejar upah, jabatan, apalagi gelar yang lebih tinggi. Seorang akademisi harus mengeluarkan kemampuan intelektualnya untuk meneliti, mengkaji dan menelaah ilmu pengetahuan sesuai dengan bidangnya untuk kemaslahatan orang banyak. Akan tetapi, tulis Prof. Mujiburrahman, semua itu merupakan hal yang sangat ironis dengan kenyataannya. Beliau menjelaskan, para akademisi menulis karya ilmiah, baik berupa buku, artikel di media masa, maupun menulis di jurnal ilmiah yang bersifat Nasional dan Internasional hanya untuk mendapatkan gelar profesor dan ujung-ujungnya adalah ‘duit’ yakni mendapatkan tunjangan kehormatan dan gengsi.

Begitu pula dalam profesi yang serupa, yakni guru. Dalam Undang-Undang nomor 14 tahun 2015 tentang Guru dan Dosen disebutkan pada pasal 2 ayat 1 bahwa Guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedang pada pada pasal 3 ayat 1 disebutkan bahwa Dosen mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan tinggi yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Artinya, Guru dan Dosen merupakan profesi yang sama, bedanya adalah objek yang menjadi sasaran pendidikan dan pengajarannya.

Kalau dalam profesi guru menulis bukan untuk mendapatkan gelar profesor, akan tetapi merupakan sebuah kewajiban untuk kenaikan pangkat ke jenjang yang lebih tinggi. Menurut Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 16 Tahun 2009, seorang guru yang akan naik pangkat dari III/b terus sampai ke pangkat IV/e harus memenuhi salah satu unsur dari Profesi Berkelanjutan (PKB). Salah satu unsur PKB yang harus dimiliki seorang guru adalah Karya Tulis Ilmiah. Artinya, seorang guru yang akan naik pangkat harus menulis. Dalam peraturan Menpan & RB disebutkan bahwa tulisan ilmiah guru tersebut masuk dalam kategori Publikasi Ilmiah. Publikasi ilmiah mencakup tiga kelompok, yaitu Presentasi pada forum ilmiah, Publikasi berupa hasil penelitian atau gagasan ilmu bidang pendidikan formal, dan Publikasi buku teks pelajaran, buku pengayaan, dan pedoman guru. Dalam ketentuannya, seorang guru yang akan naik pangkat mempunyai kewajiban untuk melakukan publikasi ilmiah. Setiap jenjang pangkat yang dituju memiliki perbedaan dalam jumlah angka kreditnya ketercapaiannya. Dan juga, semakin tinggi jenjang pangkat yang akan dicapai, maka jenis publikasi ilmiahnya pun juga semakin tinggi tingkat kesulitannya.

Seorang guru dituntut memiliki karya tulis ilmiah mulai dari kenaikan pangkat III/b sampai IV/e. Pangkat III/b ke III/c jumlah angka kredit Karya tulis ilmiahnya adalah 4, III/c ke III/d adalah 6, III/d ke IV/a adalah 8, IV/a ke IV/c adalah 12, IV/c ke IV/d adalah 14, dan IV/d ke IV/e adalah 20. Selain itu, kenaikan pangkat dari jenjang III/b sampai ke jenjang III/d bebas dalam memilih jenis karya tulis ilmiahnya, yang penting memenuhi angka kredit yang sudah ditentukan sesuai dengan peraturan. Karya tulis ilmiahnya bisa berupa artikel, makalah, karya tulis ilmiah populer, diktat/modul, karya terjemahan, Penelitian Tindakan Kelas (PTK), buku pelajaran, buku pedoman guru dan sebagainya. Hal itu akan berbeda ketika mau naik pangkat ke IV/a sampai ke IV/e. Ketika mau naik dari III/d ke IV/a seorang guru wajib melakukan 1 penelitian maksimal 2 tahun. Naik dari IV/a ke IV/c guru wajib melakukan 1 penelitian di tambah lagi dengan 1 tulisan yang dimuat dijurnal yang ber ISSN. Naik lagi dari IV/c ke IV/e guru wajib melakukan 1 penelitian ditambah lagi 1 tulisan yang dimuat dijurnal yang ber ISSN serta 1 buku yang ber ISBN/BSNP.

Begitulah, proses kenaikan pangkat guru yang saat ini berlakubagi guru. Untuk memenuhi unsur karya tulis ilmiah itu, seorang guru selama 4 tahun harus ada menulis agar unsur publikasi ilmiah itu terpenuhi. Dari sinilah, muncul berbagai kendala dan masalah. Banyak guru-guru kita tidak bisa menulis karya tulis ilmiah. Jangankan membuat karya tulis penelitian, menulis makalah singkat pun banyak yang tidak bisa. Lebih dari itu, menulis artikel selembar dua lembar kertas A4 juga tidak mampu. Sehingga banyak dikalangan guru ketika mau naik pangkat meminta bantuan kepada orang yang bisa untuk membuatkan karya tulis ilmiahnya. Hal ini tidak gratis, tentu ada imbalan jasa dan pengganti biaya cetak kertas ketika diprint out. Selain itu, ada yang merasa mampu menulis, baik karya tulisan penelitian, makalah, artikel dan sebagainya. Akan tetapi karya tulis itu merupakan copy paste karya orang lain yang diambil di internet. Dia dengan bangganya mendownloud dan merubah nama si penulis dengan namanya. Hal ini memerlukan kejelian dan keprofesionalan dari para TIM Asesor yang memeriksa berkas usulannya. Karena yang memberikan kepantasan dan keabsahan dari karya tulisnya adalah kewenangan TIM Asesor yang yang sudah ditunjuk oleh instansi tertentu. Kalau menurut Tim Asesor layak, maka berkas usulan kenaikan pangkatnya akan diterima bisa naik pangkat ke jenjang selanjutnya.

Banyak persoalan guru dalam ‘merekayasa’ karya tulis ilmiahnya untuk bisa naik pangkat. Hal ini merupakan sebuah ironi bagi dunia pendidikan kita di Indonesia. Seyogyanya peraturan itu dibuat dengan tujuan baik dan mulia, agar dunia tulis menulis dikalangan guru bisa berkembang dengan baik. Seorang guru hendaknya tidak hanya mengajar dan mendidik. Hal itu merupakan tugas pokok yang harus dilaksanakan. Akan tetapi, seorang guru juga harus memiliki kemampuan inteletual yang mumpuni. Dia ‘haus dan dahaga’ terhadap ilmu pengetahuan yang terus berkembang dengan pesatnya. Untuk meghilangkan atau mengurangi haus dan dahaganya kepada ilmu pengetahuan itu, diantaranya dengan membaca dan menulis. Semakin banyak ilmu yang didapat dari proses membaca yang dilakukannya akan terasa membekas didalam jiwanya ketika mampu ditulis dan diulasnya kembali menjadi sebuah tulisan. Tulisan yang lahir dari pemikiran, penelitian dan perenungan akan menghasilkan manfaat yang besar bagi dirinya dan juga bagi orang lain. Tulisan yang baik akan terus dibaca selama tulisan itu masih ada dan tersimpan dalam catatan. Apalagi, kalau menulis itu diniatkan untuk kebaikan dan ke maslahatan orang banyak, tentu akan bernilai pahala yang besar bagi si penulisnya.

Dengan terus menulis, merupakan bentuk dukungan terhadap Program Pemerintah saat ini, yakni Gerakan Literasi Nasional. Di mana gerakan literasi itu sudah digaungkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ke seluruh pelosok daerah di Indonesia, bahkan sudah masuk ke sekolah-sekolah baik Tingkat Dasar, Tingkat Pertama, dan Menengah Atas. Dengan adanya Gerakan Literasi Nasional ini, diharapkan semua komponen yang terlibat dalam dunia pendidikan lebih menggiatkan lagi minat baca dan menulis dikalangan pendidik, tenaga kependidikan dan siswanya. Kalau semua orang sudah bisa membaca, apalagi mau menuliskannya maka pendidikan di Indonesia akan berkembang dengan pesat. Semoga!

Tidak ada komentar:

Popular