Pemilihan umum (pemilu) presiden dan ligeslatif tahun
2019 tinggal menghitung hari. Pada hari Rabu, 17 April 2019 merupakan hari
pencoblosan. Di mana seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke
diharapkan menggunakan hak pilihnya pada hari itu. Himbauan untuk tidak menjadi
Golongan Putih (Golput) diserukan kepada masyarakat. Sebab, dengan golput maka
hak pilihnya menjadi tidak tersalurkan. Dengan begitu, sangat disayangkan
sekali hak pilih seseorang menjadi ‘hangus’ dan terbuang dengan percuma.
Padahal, di Negara kita pemilu hanya dilakukan selama lima tahun sekali. Sangat
disayangkan, apabila ada diantara masyarakat yang tidak menggunakan hak
pilihnya ke Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Beberapa hari ini muncul kembali seruan agar
menggunakan hak pilihnya dan larangan untuk tidak golput. Bahkan ada ancaman,
kalau golput akan dipidanakan. Fatwa MUI tentang pemilu pada tahun 2009 yang
lalu kembali disuarakan. Dalam fatwa itu, ada beberapa poin penting berkaitan
dengan pemilu. Diantaranya, MUI menyatakan bahwa Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat
atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya
adalah haram. MUI juga menyatakan bahwa Memilih pemimpin yang beriman dan
bertakwa, jujur (siddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh),
mempunyai kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam
hukumnya adalah wajib. Dalam fatwa itu, sangat jelas bahwa seluruh umat Islam
di negeri ini mempunyai kewajiban untuk memilih calon pemimpinnya. Dan
menyatakan bahwa orang yang tidak memilih atau golput dinyatakan haram.
Kalau kita mencermati tentang fatwa ini,
sangat bertolak belakang dengan fakta di Lapangan. Fatwa ini dikeluarkan pada
bulan Januari tahun 2009. Menurut data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) ada
perbedaan yang cukup signifikan antara tingkat partisipasi pemilih pada pilpres
maupun pileg ketika fatwa itu belum ada dan setelah adanya fatwa itu. Pada
pemilu tahun 1999, tingkat pemilih sebesar 93,30 persen dengan angka golput 6,70 persen. Sedangkan pemilu tahun 2004 tingkat partisipasi pemilihnya sebesar 84,07 persen dengan angka golput mencapai 15,93
persen. Pada Pilpres putaran
pertama tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 78,2 persen dan jumlah
Golput 21,8 persen, sedangkan pada Pilpres putaran kedua tingkat partisipasi
politik pemilih mencapai 76,6 persen dan jumlah golput 23,4 persen. Hal ini sangat berbeda dengan pemilu tahun 2009, ketika fatwa MUI itu
dikeluarkan. Pada
Pemilu Legislatif tahun 2009 tingkat partisipasi politik pemilih semakin
menurun yaitu hanya mencapai 70,9 persen dan jumlah golput semakin meningkat
yaitu 29,1 persen. Pada Pilpres 2009 tingkat partisipasi politik pemilih
mencapai 71,7 persen dan jumlah golput mencapai 28,3 persen.
Terakhir, pada 2014 angka golput mencapai 29,01 persen.
Pilpres 2014 diikuti oleh dua kandidat yaitu Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK.
Menariknya, sekalipun pemenang pilpres 2014 adalah calon baru, ada perbedaan
pada angka partisipasi pemilih pileg dengan pilpresnya. Angka golput Pileg 2014
mencapai 24,89 persen, sementara dalam pilpres angkanya bertengger pada 29,01
persen. Pada Pemilu 2014, persentase golput pileg lebih kecil daripada angka
2009.
Berdasarkan data itu, maka bisa diketahui bahwa golput
tidak bisa dihilangkan. Setiap pemilu jumlahnya fluktuatif. Fatwa MUI yang
mengharamkan golput tidak secara signifikan mengurangi angka partisipasi
golput. Justru angkanya semakin bertambah. Hal ini bisa dilihat dari data tahun
1999 (6,70 persen) dan data 2004 (15,93 persen). Bandingkan dengan data 2009 (29,1
persen) dan 2014 (29,01 persen). Dari data perbandingan ini cukup jelas tergambar
bahwa angka golput naik secara signifikan. Dari sini muncul pertanyaan, Apakah
ini akan berlanjut pada pileg dan pilpres di tahun 2019 ini?.
Pileg dan pilpres tinggal menghitung hari. Semua rakyat
Indonesia diharapkan bisa menggunakan hak pilihnya. Kita tidak bisa berandai-andai
pemilu tahun ini banyak yang golput. Golput juga pilihan. Setiap warga negara
memang mempunyai hak untuk memilih dan dipilih. Sebab, hak memilih dan dipilih itu
sudah di atur di dalam perundang-undangan. Untuk itu, sewajarnyalah setiap
warga negara menggunakan haknya itu sebagai sebuah kewajiban bernegara. Seandainya
dia tidak memilih pun atau golput, juga merupakan haknya. Siapapun tidak bisa
memaksanya untuk tidak golput. Sebab, mereka pasti mempunyai keyakinan terhadap
pilihan golputnya itu. Bisa saja tidak ada pilihan yang cocok dengan hati
nuraninya. Atau, dia berpandangan negatif terhadap semua paslon. Dengan anggapan
tidak ada yang baik. Bisa juga, dia kecewa dengan pemimpin-pemimpin yang duduk
di legislatif dan eksekutif saat ini yang banyak melakukan KKN (Kolusi, korupsi,
dan Nepotisme). Semua anggapan itu, benar saja menurut mereka. Sebab, sekarang
ini banyak pejabat dilegislatif dan eksekutif yang ditangkap oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Sehingga menambah keyakinan mereka untuk tidak
memilih (golput).
Pemerintah, baik Pusat maupun Daerah serta
penyelenggara pemilu yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas
Pemilu (Bawaslu) sudah berusaha semaksimal mungkin memberikan informasi dan
ajakan untuk menggunakan hak pilihnya. Berbagai sosialisasi dilakukan, baik di media
elektronik, cetak dan media sosial. Berbagai spanduk, banner, baliho, stiker,
dan sebagainya disebarkan ke berbagai daerah. Bahkan sampai kepelosok desa
terpencil sekalipun. Himbauan dan ajakan untuk memilih juga dilakukan oleh partai
peserta pemilu dan pasangan calon, baik legislatif maupun calon presiden. Usaha
sosialisasi terus dilakukan sampai pada waktu menjelang pencoblosan. Mereka
berharap, seluruh rakyat Indonesia baik di dalam dan luar negeri bisa
menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum tahun ini. Persoalan
dukung-mendukung paslon tidak mengurangi antusias warga menggunakan hak
pilihnya. Siapapun yang didukung dan dipilih merupakan hak setiap warga negara.
Tidak boleh ada pemaksaan, ancaman dan intimidasi. Biarkan mereka menggunakan
hak pilihnya sesuai dengan hati Nurani mereka. Dengan menggunakan hak pilihnya,
maka legitimasi pemilu akan lebih kuat. Pemimpin yang terpilih akan mendapatkan
dukungan yang kuat dari rakyatnya. Dan bisa memimpin negara ini dengan tenang, tentram
dan damai. Pemimpin terpilih nantinya bisa melaksanakan program yang telah di susun
dengan baik. Dia bisa bekerja dengan tenang dan penuh tanggung jawab. Semua itu
untuk kepentingan, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Dengan memiliki
pemimpin yang baik dan amanah, rakyat pun bisa hidup dengan rukun, damai dan
sejahtera. Mereka bisa bekerja tanpa beban dan intimidasi dari siapapun. Keadaan
negara akan aman terkendali. Dan rakyat akan hidup Makmur dan sejahtera. Semoga!
#Mari Sebarkan Kebaikan#
Paringin, 2
April 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar