Rubrik Opini Radar
Bajnarmasin pada hari Sabtu, 28 Juli 2018 memuat tulisan dengan judul
“Kecil-kecil Jadi Pengantin”. Dalam tulisan itu menyoroti kasus penikahan dini
yang lagi viral di media sosial, bahkan sudah menjadi konsumsi Nasional karena
kedua mempelai beserta orang tua dan wali yang mengasuh mereka di undang
wawancara oleh sebuah TV Swasta Nasional. Kejadian menghebohkan itu terjadi di
Desa Tungkap Kecamatan Binuang Kabupaten Balangan. Ketika video pernikahan
mereka viral di medsos, maka banyak pihak yang mengecam serta memberikan
tanggapan negatif. Karena mereka tergolong masih anak-anak yang seharusnya
masih berada di bangku sekolah. Laki-lakinya ZA berumur 14 tahun, dan
perempuannya IB berusia 15 tahun. Yang kalau dirujuk kepada Undang-undang
perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pada Pasal 7 ayat 1 yang menyatakan bahwa
‘Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (Sembilan
belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”.
Akibat dari perkawinan
muda yang tidak sesuai dengan undang-undang tersebut, maka banyak pihak yang
manyarankan agar pernikahan itu dibatalkan. Bahkan Menteri Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Yohanna Yembise ikut turun tangan dan
mengatakan bahwa pernikahan tersebut harus dibatalkan. Dan menurut informasi
yang beredar bahwa penikahan ZA dan IB sudah dibatalkan, walaupun masih menjadi
tanda tanya, siapa yang berhak membatalkan pernikahan keduanya. Sebab
pernikahan keduanya tidak tercatat di Kantor Urusan Agama setempat.
Dalam agama Islam,
penikahan itu sah kalau memenuhi rukun dan syarat nikah. Rukun nikah itu
meliputi mempelai laki-laki, mempelai perempuan, wali nikah, saksi (minimal 2
orang) dan Ijab Qabul (Akad). Sedangkan syarat bagi kedua mempelai tidak ada
menyatakan Batasan umur. Yang ada hanya menyatakan bahwa kedua calon mempelai
baik laki-laki maupun wanita telah baligh. Baligh dalam pandangan agama Islam
tidak terikat umur. Kalau wanita ciri balighnya jelas, yakni sudah pernah haid.
Sedangkan bagi laki-laki bisa saja masih samar-samar. Akan tetapi ciri fisik
laki-laki yang baligh bisa diketahui, diantaranya adalah munculnya jakun
dilehernya, suara membesar, tumbuh bulu-bulu kecil di area sensitif, dan pernah
bermimpi basah. Kalau ciri-ciri itu terpenuhi, maka laki-laki dan wanita
dikategorikan sudah baligh. Artinya, kalau mereka melakukan pernikahan maka
nikahnya sah sesuai agama Islam.
Indonesia adalah negara
besar. Berbagai suku, ras dan agama terdapat di dalamnya. Karena itu, Indonesia
bukan negara yang berlandaskan agama. Walaupun agama terbesar di Negeri adalah
Islam. Tidak serta mata hukum yang berlaku harus sesuai dengan agama Islam.
Dalam perkawinan sudah jelas bahwa hukum yang dipakai saat ini adalah UU Nomor
1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 1975. Dalam Undang-undang
itu pada Pasal 2 ayat 1 disebutkan bahwa Perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Kemudian
pada ayat 2 disebutkan Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Artinya perkawinan akan sah kalau dinikahkan
sesuai dengan agamanya dan tercatat di KUA ataupun di Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil (Disdukcapil) setempat.
Selama ini, sebagian
masyarakat ada yang berpikir bahwa pernikahan itu cukup diucapkan maupun
dilangsungkan dihadapan ‘Penghulu’ saja, tidak perlu dicatatkan di instansi
terkait. Biasanya, mereka malas mengurusnya karena mau cepat. Ada juga karena
tidak memenuhi persyaratan seperti kasus ZA dan IB atau mau menambah isteri
lebih dari satu (tanpa izin isteri pertama), dan sebagainya. Hal inilah yang
menyebabkan pernikahan yang tidak tercatat sesuai Undang-undang tersebut
menjadi tumbuh subur di daerah kita. Dengan berlandaskan ajaran agama,
pernikahan tersebut menjadi hal yang lumrah. Terkadang para ulama ikut
memberikan pencerahan kepada jamaahnya tentang kebolehan melakukan pernikahan
seperti itu. Mereka hanya berpatokan kepada fikih yang notabene nya membolehkan
nikah selama syarat dan rukunnya terpenuhi.
Generasi
Berkualitas
Allah mengajarkan kepada
umatnya untuk mencari kebahagiaan akhirat dan jangan melupakan kebahagiaan
dunia (Qs.28:77). Manusia dalam
hidupnya adalah mencari kebahagiaan itu. Dengan menjalankan ajaran agama yang
diajarkan Rasulullah Saw maka kehidupan di dunia ini akan memperoleh
kebahagiaan. Pernikahan merupakan sunnah Rasul. Artinya, mereka yang
melangsungkan pernikahan telah menjalankan perintah Rasulnya. Salah satu tujuan
dari pernikahan adalah mendapatkan keturunan yang baik dan berkualitas. Anak-anak
itulah yang bakal meneruskan kehidupan orang tuanya. Karena itu Allah
memerintahkan kepada setiap orang tua agar menjaga, merawat dan mendidik
anak-anaknya dengan sebaik-baiknya, supaya menjadi generasi yang salih dan
salihah. Anak-anak yang pandai, berakhlak mulia, sejahtera dan memberi manfaat
sebesar-besarnya bagi orang tua, masyarakat, bangsa dan negara. Allah Swt
melarang manusia meninggalkan keturunan yang lemah (Qs.4:9). Lemah disini dalam
segala hal, baik fisik, ekonomi, kecerdasan, maupun agamanya.
Nah,
untuk menghasilkan generasi yang kuat semacam itu kuncinya ada pada kualitas Lembaga
rumah tangga yang dibangun oleh orang tuanya. Jika rumah tangga itu Islami,
tentram, bahagia, dan tertata dengan baik, Insya Allah akan menghasilkan
anak-anak yang baik di masa depan. Sebaliknya, jika rumah tangga tersebut
amburadul, maka ia pun akan menghasilkan anak-anak yang ‘amburadul’ juga. Rasulullah
Saw pernah mengatakan, bahwa seorang anak dilahirkan dalam keadaan suci dan
bersih. Orang tuanyalah yang menjadikannya seorang muslim, Nasrani, yahudi
maupun majusi. Hal ini menunjukkan betapa sentralnya peranan orang tua bagi
kualitas anak-anaknya di masa depan. Jika orang tuanya suka bertengkar, maka
anak-anaknya pun akan memiliki sifat-sifat suka bertengkar. Jika orang tuanya
suka berlaku kasar, maka anak-anaknya pun bakal senang berlaku kasar. Namun,
jika orang tuanya memberikan contoh kasih sayang dan kelembutan dalam keluarga,
maka anak-anak mereka pun bakal menyukai budaya kasih sayang dan kelembutan
dalam hidupnya. Karena itu, sering kita dengar pepatah yang mengatakan bahwa ‘buah
jatuh tidak jauh dari pohonnya’. Artinya, seorang anak tidak akan jauh dari
akhlak dan didikan orang tuanya. Selain karena faktor genetik yang diturunkan,
hal itu juga bersumber dari kebiasaan yang ditanamkan orang tuanya selama
bertahun-tahun.
Nah, untuk itu sangat
wajar kalau dalam undang-undang perkawinan melarang pernikahan muda. Sebab,
tingkat kedewasaan kedua pasangan untuk membina rumah tangga belum cukup. Pernikahan
bukan saja masalah seksual. Ketika seseorang sudah memasuki usia baligh lantas
boleh menikah. Ada faktor psikologis dan emosional serta cara berpikir dewasa yang
harus di miliki oleh masing-masing pasangan. Dengan begitu, rumah tangga akan
berlangsung dengan baik. Kedewasaan psikologi dan emosi sangat penting untuk
menciptakan rumah tangga yang harmonis. Selain itu, cara berpikir juga
mempengaruhi kedewasaan seseorang. Oleh sebab itu, faktor umur menjadi sebuah
pertimbangan dalam memasuki pernikahan. Tidak jarang pasangan muda yang sudah
menikah tidak bisa mengontrol emosinya, sehingga banyak terjadi kasus
perceraian. Data di pengadilan agama menyatakan bahwa sebagian besar perceraian
yang terjadi adalah pasangan muda. Itu yang tercatat, masih banyak lagi kasus
perceraian yang tidak tercatat dan terpantau oleh pihak pemerintah.
Kasus AZ dan IB sudah
terjadi. Kita berharap, kasus serupa tidak lagi terulang kepada siapapun. Diperlukan
pembelajaran melalui sosialisasi yang intens oleh pihak terkait. Selain itu, peranan
ulama, ustaz, guru, tokoh masyarakat maupun lembaga pendidikan di semua
jenjangnya. Peranannya sungguh sangat
diharapkan. Mereka berperan sesuai dengan bidangnya masing-masing untuk bisa
menjelaskan dan meyakinkan masyarakat tentang bahaya penikahan di usia dini. Sehingga
ke depan tidak terjadi lagi pernikahan muda. Semoga!
Paringin, 28 Juli 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar