Beberapa hari
yang lalu, video seorang wanita yang diduga pengemis sedang mengambil uang
ratusan juta beredar di media sosial. Dalam video itu tampak seorang wanita
berpakaian lusuh sedang menghitung uang di sebuah bank. Menurut penelusuran,
wanita itu berprofesi sebagai peminta-minta di sekitar Pasar Lama Banjarmasin.
Dengan beredarnya video itu, berbagai macam tanggapan bermunculan di media
sosial. Banyak yang menyayangkan bahwa seorang wanita yang berprofesi sebagai
‘peminta-minta’ ternyata mempunyai banyak sekali uang. Walau pun pihak keluarga
sudah mengklarifikasi bahwa uang ratusan juta yang di ambil wanita itu bukan
dari hasil meminta-minta. Akan tetapi, karena video itu sudah terlanjur
tersebar, maka masyarakat menjadi berpandangan negatif terhadap para
pengemis.
Kasus seperti itu banyak di temui di
daerah perkotaan. Tidak hanya di Banjarmasin, kejadian seperti itu merupakan
persoalan yang sama terjadi di setiap kota-kota besar di Indonesia. Sebelumnya
juga sempat viral di medsos, yaitu sekitar bulan Februari yang lalu juga heboh
di daerah Tasikmalaya. Pada saat menggelar operasi gabungan penertiban
tuna wisma, penyandang gangguan jiwa, dan pengemis oleh Satpol PP Kota
Tasikmalaya telah mengamankan seorang pengemis yang bernama Epon (50 Tahun). Sepintas ini merupakan peristiwa biasa, namun saat di data
dan di periksa dari tangan Epon petugas menemukan uang pecahan Rp 100 ribu dan
Rp 50 ribu yang ketika dihitung berjumlah Rp 34 juta. Kemudian, ada juga Siswari
Sri Wahyuningsih (51 Tahun) di Semarang. Apa yang dibawa pengemis dan pengamen
yang terjaring di Kota Semarang ini jauh lebih mencengangkan lagi. Dia kedapatan
memiliki uang deposito sebesar Rp 140 juta dan uang tabungan di bank senilai Rp
16 juta. Saat dijaring, ia pun membawa uang tunai mencapai Rp 400.000, serta
tiga surat BPKB kendaraan roda dua. Bahkan, sertifikat tanah seluas 105 meter
persegi pun turut dibawa. Ia memiliki tiga anak dan kesemuanya dapat mengenyam
pendidikan di perguruan tinggi.
Kejadian
yang viral di medsos itu hanya sebagian kecil saja. Dan hanya kebetulan saja terciduk
atau tertangkap saat ada rajia penertiban oleh Satpol PP daerah masing-masing.
Masih banyak lagi para gepeng yang memiliki uang atau pun aset kekayaan yang
tidak diketahu oleh orang banyak. Hal ini terbukti dengan menjamurnya gepeng
itu di perkotaan. Ketika ditangkap petugas, kemudian di data dan di beri arahan
setelah itu dilepaskan bukannya berhenti. Justru mereka akan kembali lagi
beroperasi dan meminta-minta di tempat lain. Sehingga tidak jarang terjadi
kucing-kucingan antara anggota Satpol PP dan para gepeng tersebut. Belum lagi,
ada agen yang memasuk para gepeng itu untuk mencari keuntungan pribadi dan sebagainya.
Gepeng (Gelandangan dan Pengemis) adalah sebuah
fenomena kehidupan disebuah kota besar. Semakin besar dan maju kota itu, maka
semakin banyak juga gepeng yang muncul. Hal ini merupakan suatu persoalan yang
sangat pelik dihadapi pemerintah daerah. Satu sisi ingin menata kota agar lebih
baik dan indah, serta menambah kemakmuran penduduknya ternyata ada para gepeng
yang dapat merusak tatanan perkotaan. Hampir setiap kota besar mempunyai
masalah dengan gepeng ini. Setiap kali ada penertiban bahkan sampai ditangkap
dan dipenjara bukannya membuat mereka jera untuk meminta-minta, akan tetapi setelah
dikeluarkan, mereka tetap kembali menjadi gelandangan dan pengemis.
Memang, ini merupakan suatu hal yang
dilematis bagi pemerintah daerah setempat, dengan berbagai cara Pemerintah
Daerah ingin sekali kota bebas dari gepeng, karena selain mengganggu pengguna
jalan, membuat kumuh kota, juga mengurangi keindahan kota. Banyak usaha-usaha
yang telah dilakukan Pemerintah agar para gepeng ini tidak lagi berkeliaran
maupun menunggu di persimpangan jalan kota untuk tidak meminta-minta. Diantaranya
adalah mensosialiasikan Peraturan Daerah (Perda) tentang larangan gepeng, pembinaan, pendidikan dan pelatihan, supaya
mereka mempunyai keahlian/keterampilan bekerja, sehingga nantinya mereka dapat bekerja
mandiri bahkan dapat membuka lapangan pekerjaan sendiri dan dapat hidup tanpa
meminta-minta kepada orang lain lagi. Akan tetapi semua upaya dari pemerintah
itu sepertinya tidak dihiraukan oleh para gelandangan dan pengemis.
Satu hal yang membuat gepeng
ketagihan meminta-minta adalah kita selalu memberi. Memang ini merupakan sebuah
budaya agamis. Kita kadang berkata, “apalah artinya memberi uang Rp. 500,- atau
Rp. 1.000,-, anggaplah itu sedekah”. Tapi, bagi mereka itu sangat berharga,
karena yang memberi tidak hanya seorang saja tapi bisa puluhan, ratusan atau
mungkin lebih dalam satu harinya. Misalkan saja, seseorang memberi Rp. 500,-
sehari dan yang memberi anggap saja 50 orang sehari, mereka sudah mendapatkan
uang Rp. 25.000,- per hari. Apalagi kalua lebih dari itu dalam memberinya.
Maka, wajar saja kalua ada gepeng yang memiliki uang dan tabungan di bank
dengan jumlah puluhan hingga ratusan juta. Hal ini tidak menutup kemungkinan
bisa mereka peroleh dalam sehari, bahkan mungkin saja lebih dari itu. Sebab,
orang Banjar biasanya ‘Kada Pamurunan
(tidak tega/kasihan)’, sehingga jarang tidak memberi dan ketika memberi pun
biasanya agak banyak. Terlebih lagi dengan melihat penampilan para gepeng yang
memberi belas kasihan. Hal ini menambah keprihatinan dan kepedulian para
dermawan, sehingga tidak sungkan untuk memberikan uang kepada para gepeng itu.
Sebagai sebuah pendidikan bagi gepeng.
Tidak ada salahnya kita ‘bapurun (bahasa banjar)’ untuk tidak memberi mereka. Bukannya kita
‘kejam’ atau tidak mau beramal jariyah dengan bersedekah kepada mereka, tetapi hal
ini merupakan sebuah pengajaran bagi mereka, bahwa untuk mendapatkan uang itu
susah (sulit). Rezeki harus dijemput dengan bekerja keras. Hal ini harus dicoba.
Dengan tidak memberi uang kepada gepeng, diharapkan mereka akan berpikir untuk
mencari pekerjaan lain. Bahkan mungkin mereka akan bekerja keras memeras
keringat untuk mendapatkan rezeki yang halal lagi baik. Karena dalam ajaran agama
Islam, kita dilarang meminta-minta, sebaliknya Islam mengajarkan untuk bekerja
keras kepada umatnya dengan tidak bermalas-malasan dalam menjemput rezeki yang
telah dianugerahkan Allah swt kepada hamba-hamba-Nya. Dengan begitu, kita telah
membantu upaya pemerintah daerah dalam ‘memerangi’ para gepeng agar tidak ada
lagi dan juga kita berharap mudaha-mudahan mereka sadar untuk tidak
meminta-minta lagi kepada orang. Semoga!
Mari Sebarkan Kebaikan
Paringin, 25 Juli 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar