Pada
tanggal 1 September 2019 ini bertepatan dengan 1 Muharram 1441 H. Setiap awal
Muharram selalu diperingati sebagai Tahun Baru dalam agama Islam. Yang disebut
sebagai Tahun Baru Hijriah. Hal ini merujuk kepada keputusan Khalifah Umar bin
Khattab yang menjadikan hijrah Nabi Saw sebagai permulaan perhitungan kalender
dalam Islam. Tidak seperti perhitungan kalender Miladi (Masehi), yang
menjadikan kelahiran Nabi Isa al Masih sebagai perhitungan awalnya. Khalifah
Umar justru memilihi peristiwa hijrah itu sebagai perhitungan awal kalender
Islam. Walaupun banyak usulan yang menghendaki agar perhitungan itu bukan pada
peristiwa hijrah. Ada yang mengusulkan saat kelahiran Nabi Saw, ada juga yang
mengusulkan ketika wafatnya. Ada juga yang mengusulkan pada saat peristiwa isra
mi’raj dan sebagainya. Tetapi Umar tidak menerima ide-ide itu. Beliau menerima
salah satu ide yang muncul, yaitu ide penghitungan kalender Islam itu dari
peristiwa hijrah Nabi Saw. Sebab, dalam pandangan Umar, hijrah adalah peristiwa
yang membalikkan keseluruhan perjalanan perjuangan Nabi menegakkan kebenaran. Bila
di Makkah, selama 13 tahun, Beliau berhasil menanamkan iman kepada Allah dan
mendidik akhlak pribadi-pribadi para Sahabat yang jumlahnya tidak terlalu
besar, maka setelah Hijrah, di Madinah, langkah perjuangan Rasulullah Saw
meningkat, yaitu membentuk masyarakat berperadaban. Karena itu nama kota tempat
Beliau berhijrah, asal mula bernama Yastrib, Beliau ubah menjadi Madinah, yang
maknanya ialah “kota” dalam pengertian “tempat peradaban”, hidup beradab,
berkesopanan, dan teratur dengan hukum-hukum yang ditaati oleh semua warga”.
Nama lengkapnya adalah Madinat al-Rasul atau Madinat al-Nabi yang
berarti Kota Rasul atau Kota Nabi.
Dari sudut
tinjauan historis, peristiwa hijrah ini merupakan puncak dari rentetan berbagai
peristiwa yang panjang, sepanjang masa perjuangan yang dilakukan Nabi Saw
menegakkan kebenaran di Makkah. Telah lewat lebih dari sepuluh tahun Nabi
berjuang menegakkan kebenaran di Makkah, namun hasilnya tidak terlalu
menggembirakan. Nabi mengalami banyak kesulitan karena kematian istri beliau,
Khadijah, yang selama ini mendukung dan memberanikan beliau dengan amat setia. Setelah
itu wafat pula paman beliau, Abu Thalib. Paman beliau dengan penuh ketulusan
dan tanggung jawab melindungi Nabi dari serangan orang-orang kafir Makkah. Karena
wibawanya itu, perlindungan itu sangat efektif, dan untuk selama ini Nabi
merasa aman, dengan gangguan yang tidak begitu berarti. Kematian Khadijah dan
Abu Thalib itu membuat tahun kesepuluh dari kenabian menjadi tahun yang amat
sulit bagi Nabi. Maka tahun itu disebut sebagai tahun kesedihan (‘am al-huzn).
Setelah peristiwa itu, maka terbuka lebar jalan bagi kalangan kafir Makkah
untuk menyiksa Nabi dan menghalangi tugas suci beliau. Karena merasakan
kerasnya perlawanan kaum Quraisy Makkah, Nabi Saw mencoba menyampaikan seruan
suci ke kota Tha’if. Tetapi, sama dengan di Makkah, Nabi menjumpai penolakan
dan perlawanan keras dari penduduk Tha’if. Dan atas hasutan tokoh mereka,
penduduk Tha’if beramai-ramai menghalau Nabi sambil melemparinya dengan batu.
Nabi kembali
ke Makkah dengan perasaan tidak menentu tentang nasib beliau berhadapan dengan
kaum Quraisy. Beliau kini tidak lagi memiliki tokoh pelindung dan pembela. Setelah
itu, Nabi kembali meneruskan perjuangannya menyampaikan seruan suci Islam
kepada suku-suku sekitar Makkah dan di Arabia, seperti suku-suku atau klan-klan
Bani Maharab, Farazah, Ghassan, Marrah, Hanifah, Suldim, Abs, Kindah, Harits, Kalb,
Azrah, Hadzramah, dan lain-lain. Namun semua itu berlalu tanpa hasil yang
memadai. Justru, tekanan, siksaan dan ancaman pembunuhan semakin meningkat.
Pada waktu itulah muncul tawaran dari penduduk Yatsrib (Sebelum dirubah menjadi
Madinah) untuk hijrah (pindah) ke kota itu. Mereka akan menjamin keselamatan
Nabi Saw dan pengikutnya. Mereka juga bersedia untuk berbaiat memeluk agama
Islam dan membantu perjuangan Nabi Saw. Peristiwa hijrah Nabi Saw inilah yang
menjadi tonggak keberhasilan perjuangan Beliau menegakkan agama Islam.
Peristiwa
hijrah, merupakan fenomena kegiatan fisik yang dilakukan Rasulullah, yaitu
kepindahan dari Makkah ke Yatsrib (Madinah). Tetapi di balik fenomena fisik itulah,
terkandung fenomena yang tidak fisik. Melainkan fenomena spiritual dan kejiwaan,
yaitu tekad yang tidak mengenal kalah dalam perjuangan menegakkan kebenaran. Maka
dalam semangatnya yang spiritual ini, berhijrah ialah bertekad meninggalkan
kepalsuan, pindah sepenuhnya kepada kebenaran, dengan kesediaan untuk berkorban
dan menderita, karena keyakinan kemenangan terakhir akan dianugerahkan Allah
Swt kepada pejuang kebenaran itu. Tetapi, sebagaimana diteladankan oleh Nabi
Saw sendiri, semua itu harus dilakukan dengan perhitungan, dengan membuat
siasat, taktik dan strategi. Dengan begitu jaminan akan berhasil menjadi lebih
besar, karena adanya gabungan serasi antara dorogan iman yang bersemangat dan
bimbingan ilmu pengetahuan yang tepat. Hal ini sesuai firman-Nya “…Allah akan
mengangkat mereka yang beriman di antara kamu dan yang dianugerahi ilmu
pengetahuan ke berbagai tingkat yang lebih tinggi” (Qs.58:11).
Untuk itu, momentum
pergantian tahun baru Islam tahun ini bisa memberi semangat untuk berjuang menegakkan
kebenaran tanpa pamrih kepada masyarakat dan bangsa. Dalam menegakkan kebenaran
harus disertai dengan keikhlasan total hanya kepada Allah, niscaya Allah akan
memberikan pertolongan. (Lihat Qs.47:7). Momentum hijrah merupakan semangat
untuk mempersatukan bangsa dari disintegrasi yang akan merusak Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Perbedaan RAS, suku, bahasa dan agama tidak
menghalangi kita untuk Bersatu. Peristiwa rasis yang melibatkan orang Papua
baru-baru ini merupakan pelajaran yang berharga kedepannya. Presiden dan Wakil
Presiden terpilih yang akan dilantik pada bulan Oktober nanti bisa memberikan keamanan,
kenyamanan dan kedamaian di negeri ini. Semangat persatuan yang ditunjukkan
kaum Anshar dan Muhajirin di Madinah hendaknya direnungkan dan diaplikasikan di
masa-masa sekarang dan masa yang akan datang, terutama bagi bangsa kita yang
saat ini mulai rapuh nilai-nilai persatuan dan kesatuan bangsa. Hal ini dapat
kita lihat, semakin seringnya pertikaian antar suku, perbedaan pendapat yang
berakibat kerusuhan dan pengrusakan sarana-sarana pemerintah, rumah, toko,
bahkan terkadang tempat ibadah, dan lain sebagainya.
Dengan merenungkan semangat
hijrah, maka perjuangan meningkatkan harkat dan martabat bangsa dalam segala
bidang dapat dilaksanakan. Nilai-nilai dan semangat seperti inilah yang seharusnya
direnungkan pada setiap kali memperingati Tahun Baru Hijrah. Dengan demikian
setiap kali kita memasuki tahun baru hijrah timbul semangat baru dalam diri
kita masing-masing untuk terus berjuang di jalan Allah dalam arti yang
seluas-luasnya. Mudah-mudahan hal ini dapat kita lakukan untuk dapat
memperbaiki bangsa ini agar bisa menjadi bangsa yang bermartabat baik di mata
rakyatnya maupun di mata dunia internasional. Semoga!
#Mari
Sebarkan Kebaikan#
Paringin,
27 Agustus 2019