Ujian berasal dari kata uji yang
artinya percobaan untuk
mengetahui mutu sesuatu (ketulenan, kecakapan ketahanan, dsb). Dari kata uji
itu muncul kata menguji yang artinya memeriksa untuk mengetahui mutu (kepandaian, kompetensi) sesuatu. Dari
kata menguji muncul lagi kata ujian yang artinya hasil menguji, hasil memeriksa,
atau sesuatu yg dipakai untuk menguji mutu sesuatu (baik kepandaian, kemampuan,
hasil belajar, dan sebagainya). Ujian bisa juga berarti cobaan. Dari pengertian
itu, maka ujian merupakan suatu hasil dari pengujian seseorang. Pengujian yang
dilakukan bisa berupa kepandaian, ketahanan (baik fisik maupun psikis),
kekuatan, ketangkasan atau keterampilan dan berbagai kompetensi yang dimiliki
oleh seseorang. Selain kompetensi itu, ujian juga bisa berupa harta kekayaan,
jabatan atau pangkat, wanita, anak, bentuk fisik (tampan dan cantik), dan
sebagainya. Ujian bisa juga berupa pengendalian emosional, seperti marah, malu,
sombong, jenuh, ramah, kasar, tertawa dan sebagainya. Bahkan, ujian itu bisa
berupa sakit (baik sakitnya biasa, parah, menahun dan sebagainya), dan bisa
juga berupa kematian. Artinya, semua lini kehidupan yang dilalui dan dihadapi oleh
setiap manusia mulai dari ia lahir ke dunia ini sampai ajal menjemputnya kelak merupakan
ujian dari Allah Swt.
Ujian yang diberikan oleh Allah Swt itu berbagai macam bentuk dan
variasinya. Tujuannya adalah sebagai bentuk perhatian dan mengingatkan kepada
manusia untuk selalu berbuat kebaikan di muka bumi ini. Tidak lupa akan jati
dirinya sebagai seorang manusia yang diciptakan untuk selalu mengabdi kepada-Nya. Hal ini sesuai
dengan Firman-Nya “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”
(Qs.51:56). Ujian yang
diberikan untuk melihat, seberapa besar ketaatan dan kesungguhannya dalam mengabdi (beribadah) kepada Allah Swt.
Pengabdian itu tidak melulu ibadah ritual (shalat, zakat, puasa, haji dan
lain-lain). Pengabdian itu merupakan totalitas kehidupan yang dijalani manusia
di dunia ini. Begitulah, tujuan penciptaan jin dan manusia itu. Untuk itu, ujian
yang diberikan-Nya itu bisa berupa kesenangan, kemewahan, kebahagiaan dan semua
bentuk indahnya kehidupan di dunia ini. Hal ini telah
dinyatakan-Nya bahwa “Adapun manusia apabila Tuhannya
mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan,
maka dia akan berkata: "Tuhanku telah memuliakanku. Adapun bila
Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya maka dia berkata: "Tuhanku
menghinakanku". (Qs.89:15-16).
Kemuliaan dan kesenangan itu merupakan sesuatu yang didapatkan dari bantuan
orang lain. itu semua bukan pemberian dari Allah Swt. Kemulian yang
diperolehnya itu bisa karena kekayaan yang dimilikinya. Bisa juga karena
memiliki kedudukan atau jabatan, dan sebagainya. Sebab, di ayat selanjutnya
Allah Swt menyatakan tidak memberikannya. Firman-Nya “Sekali-kali
tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim, dan kamu tidak
saling mengajak memberi makan orang miskin, dan kamu memakan harta pusaka
dengan cara mencampur baurkan (yang halal dan yang bathil), dan kamu mencintai
harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.”
(Qs.89:17-20). Hal ini disebabkan, ia tidak memuliakan anak yatim,
tidak saling mengajak memberi makan orang miskin dan suka memakan warta warisan
dengan cara mencampuradukkan yang halal dan yang haram. Yang
dimaksud dengan tidak memuliakan anak yatim itu ialah tidak memberikan
hak-haknya dan tidak berbuat baik kepadanya. Artinya, kemuliaan dan kesenangan yang didapatkannya itu merupakan
bentuk ‘hukuman’ dari Allah Swt karena ia lupa akan kewajiban yang telah
dibebankan kepadanya. Diantaranya, menyayangi anak yatim dan suka memberi makan
orang-orang miskin. Hal itu diakibatkan oleh kecintaannya terhadap harta
bendanya secara berlebih-lebihan. Sehingga dijelaskan pada ayat ke 16, bahwa
ketika Allah Swt membatasi rizkinya, maka ia beranggapan bahwa Allah Swt telah
menghinakannya. Dia beranggapan bahwa kemiskinan yang diberikan Allah Swt itu
merupakan sebuah kehinaan. Padahal, Allah Swt menyalahkan
orang-orang yang mengatakan bahwa kekayaan itu adalah suatu kemuliaan dan
kemiskinan itu adalah
suatu kehinaan.
Selain itu, ujian bisa juga berupa kesedihan, kesusahan, kepahitan,
kemiskinan, dan berbagai bentuk penderitaan hidup lainnya selama di dunia. Semua
kehidupan yang diberikan-Nya itu merupakan ujian. Allah Swt menyatakan bahwa ujian itu juga berlaku
kepada umat terdahulu. Ujian itu diberikan kepada orang yang beriman dan orang
yang berbuat kejahatan. Setiap perbuatan yang dilakukan di dunia ini akan
mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah Swt. Perbuatan baik, akan
mendapatkan kebaikan berupa kesenangan surga-Nya. Sedangkan perbuatan jahat
akan mendapatkan azab-Nya. Manusia tidak bisa mengelabui dan mendustakan setiap
perbuatannya. Baik dan buruknya akan diketahui oleh Allah Swt. Manusia harus
selalu ingat bahwa hari pertemuan dengan Allah itu pasti akan terjadi. Untuk itu,
manfaatkan segala pemberian Allah Swt untuk selalu taat dan menjalankan segala
perintah-Nya dan menjauhi segala yang di larang-Nya. Hal ini sesuai dengan
Firman-Nya “Alif laam miim. Apakah manusia itu
mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah
beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?. Dan sesungguhnya
kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka,
maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia
mengetahui orang-orang yang dusta. Ataukah orang-orang yang mengerjakan
kejahatan itu mengira bahwa mereka akan luput (dari azab) Kami? Amatlah buruk
apa yang mereka tetapkan itu. Barangsiapa yang mengharap pertemuan dengan Allah,
maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu, pasti datang.
Dan Dialah Yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. (Qs.29:1-5).
Ujian yang diberikan kepada
manusia merupakan tangga untuk bisa naik mencapai derajat yang lebih tinggi. Setiap
orang yang ingin sampai
kepuncak, maka ia harus menaiki anak tangga itu satu-persatu. Artinya, setiap
anak tangga yang dinaiki itu merupakan bentuk ujian yang harus dihadapi dan
digapai dengan baik. Berat dan ringannya sebuah ujian
tergantung tingkatan yang ingin diraih. Semakin tinggi derajat yang akan diraihnya maka semakin
besar dan berat ujiannya. Contohnya anak SD, SLTP, SLTA dan Mahasiswa yang
ingin lulus dari setiap jenjangnya harus diuji terlebih dahulu. Jika ia lulus
maka bisa meneruskan ke jenjang selanjutnya. Ujian itu, diberikan sesuai dengan standar tingkatannya. Misalnya,
ujian tingkat SD, SLTP, SLTA dan Mahasiswa akan diberikan sesuai dengan
jenjangnya. Tidak bisa, ujian tingkat SD diberikan kepada SLTP apalagi
Mahasiswa. Tentunya ujian itu akan mudah dilalui atau dihadapi oleh mereka.
Atau sebaliknya, ujian tingkat SLTA diberikan kepada tingkat SD. Tentunya,
ujian itu tidak sesuai dan akan sangat memberatkan sekali bagi mereka. Begitu
juga dalam kehidupan ini. Allah Swt tidak akan memberikan ujian kepada
hamba-Nya sedangkan mereka tidak mampu memikul bebannya. Allah Swt akan
memberikan ujian sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh setiap orang.
Sehingga, wajar saja setiap orang beda-beda menerima ujian yang diberikan-Nya. Hal
ini sesuai dengan firman-Nya “Allah tidak
membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala
(dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan
kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan
kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau
bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan
kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma'aflah kami; ampunilah
kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami
terhadap kaum yang kafir. (Qs.2:286).
Hidup adalah ujian. Untuk
itu, jangan takut dengan ujian itu. Takutlah kalau kita tidak bisa menghadapi
serta memaknai ujian itu dengan baik. Sesulit atau semudah apapun ujian itu
datang kepada kita harus diterima dengan lapang dada. Ujian diperlukan untuk mengetahui sejauh mana ketercapaian pembelajaran
yang telah diberikan selama ini. Ujian juga diberikan untuk mengetahui
ketercapaian target atau tujuan kehidupan yang telah diberikan Allah Swt
kepada setiap orang. Jika tidak diadakan ujian maka sulit mengetahui
ketercapaiannya. Semakin banyak dan sulit ujian yang diberikan jika dia mampu
menjawab dan mengatasinya maka dia akan lulus. Dan berhak lanjut ke tahapan
selanjutnya. Untuk itu, mereka
yang mendapatkan ujian dari Allah Swt hendaklah selalu sabar dan takwa dalam
menjalaninya. Dengan begitu, maka Allah Swt akan memberikan kemudahan dalam
setiap usaha yang dilakukannya. Hal ini telah Allah Swt menyatakan bahwa “Kamu
sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu.
Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi
kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan
yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka
sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan.” (Qs.3:186)
Begitu juga dalam kehidupan
manusia di muka bumi ini tidak pernah luput dari ujian. Allah Swt telah
memberikan amanah (kepercayaan) kepada manusia untuk mengelola bumi ini
sebaik-baiknya. Amanah yang diberikan itu merupakan sebuah bentuk kepercayaan
yang diberikan-Nya kepada manusia. Amanah itu merupakan sesuatu yang sangat
berat dibebankan kepada manusia. Langit, bumi dan gunung yang besar dan memiliki kekuatan yang besar saja tidak sanggup memikul amanah itu. Justru, manusia yang kecil dan lemah mau menerimanya.
Sehingga, amanah itu merupakan sebuah bentuk
ujian yang diberikan oleh Allah Swt kepada manusia. Walaupun pada akhirnya,
manusia dikatakan Allah Swt sebagai orang yang amat zalim dan amat bodoh karena
mau menerima amanah itu. Hal ini dinyatakan dalam Firman-Nya “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat
kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul
amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu
oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh, sehingga Allah mengazab orang-orang munafik
laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrikin laki-laki dan perempuan; dan
sehingga Allah menerima taubat orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. Dan
adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs.33:72-73). Untuk memikul amanat yang diberikan-Nya itu, maka
Allah Swt menjadikan manusia sebagai khalifah (penguasa) di muka bumi “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para
Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi."
Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu
orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami
senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan
berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (Qs.2:30). Untuk itu, manusia
diberikan kebebasan untuk mengelola dan menjaga bumi ini agar tetap seimbang. Sehingga
amanah yang diberikan itu bisa dijalankan dengan sebaik mungkin.
Dalam kehidupan di dunia, manusia memerlukan berbagai macam kebutuhan untuk hidup. Untuk
mendapatkan kebutuhan tersebut, mereka melakukan berbagai macam usaha yang baik
maupun buruk (halal dan haram). Dengan usaha
yang maksimal, maka kebutuhan yang diinginkan bisa terwujud sesuai dengan kehendaknya.
Sehingga berbagai macam fasilitas hidup bisa
dinikmatinya dengan
baik. Seperti rumah, mobil, hotel,
jabatan, emas, berlian, anak, ternak, ladang, sawah dan sebagainya. Kenikmatan
hidup yang diinginkan itu bisa diraih oleh manusia yang mau berusaha maksimal
untuk mendapatkannya. Akibat dari kenikmatan yang diperolehnya itu, maka terkadang
manusia lupa bahwa segala yang diberikan Allah kepada mereka merupakan Titipan
yang harus dijaga dan dipergunakan untuk kebaikan. Mereka lupa bahwa harta
benda, jabatan, anak dan segala yang dimilikinya itu merupakan
Ujian. Kalau dia mampu menjaga dan menggunakannya dengan baik-baiknya, maka dia bisa lulus dari ujian tersebut. Hal ini telah
dinyatakan Allah Swt dalam firman-Nya, yaitu “Maka
apabila manusia ditimpa bahaya ia menyeru Kami, kemudian apabila Kami berikan
kepadanya nikmat dari Kami ia berkata: "Sesungguhnya aku diberi nikmat itu
hanyalah karena kepintaranku." Sebenarnya itu adalah ujian, tetapi
kebanyakan mereka itu tidak mengetahui.
Sungguh orang-orang yang sebelum mereka (juga) telah mengatakan itu pula, maka
tiadalah berguna bagi mereka apa yang dahulu mereka usahakan.” (39:49-50). Allah Swt menyatakan bahwa apabila manusia
ditimpa bahaya dan kesusahan maka ia baru ingat dan sadar dan meminta tolong kepada-Nya. Akan tetapi ketika
manusia berada dalam kenikmatan maka dia cenderung lupa dan menyombongkan diri.
Manusia terkadang tidak menyadari dan mengatahuinya. Ia merasa bahwa segala
nikmat yang telah didapatkannya itu dari kepintaran yang dimilikinya. Dengan kepintarannya
itu, ia bisa berusaha untuk mendapatkannya. Padahal, kelak usaha yang dilakukan
manusia itu tidak berguna sama sekali di hadapan Allah Swt. Sebab, semua itu
merupakan ujian dari-Nya dan hanya orang yang selalu mengingat-Nya sajalah yang
mengetahui hal itu, sehingga dia sadar bahwa segala yang dimiliknya merupakan
amanah yang harus dijaga dan digunakan untuk kemaslahatan orang banyak. Dengan
demikian kita bisa menjalani setiap ujian yang diberikan Allah Swt dengan
lapang dada dan berharap bisa lulus menjalaninya dan mendapatkan berkah dan
rida-Nya sehingga kita bisa menikmati kehidupan ini dengan tenang, damai dan
sejahtera sampai menutup mata dan mudah-mudahan sampai dibangkitkan lagi kelak.
Semoga!
#Mari Sebarkan
Kebaikan#
Paringin, 18 Juni 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar