MENYEBARLUASKAN KEBAIKAN

Web ini Kumpulan tulisan kajian keagamaan yang menarik berdasarkan Al Qur’an dan Hadits Nabi Saw. Selain tulisan, Web juga berisi berita menarik seputar Madrasah, Video Tiktok dan Youtube yang baik untuk ditonton. Ikuti terus kajiannya, jangan sampai terlewatkan. Baca semua tulisannya. Semoga mendapatkan kebaikan. Amin

Selasa, 18 Juni 2019

Ujian

Ujian berasal dari kata uji yang artinya percobaan untuk mengetahui mutu sesuatu (ketulenan, kecakapan ketahanan, dsb). Dari kata uji itu muncul kata menguji yang artinya memeriksa untuk mengetahui mutu (kepandaian, kompetensi) sesuatu. Dari kata menguji muncul lagi kata ujian yang artinya hasil menguji, hasil memeriksa, atau sesuatu yg dipakai untuk menguji mutu sesuatu (baik kepandaian, kemampuan, hasil belajar, dan sebagainya). Ujian bisa juga berarti cobaan. Dari pengertian itu, maka ujian merupakan suatu hasil dari pengujian seseorang. Pengujian yang dilakukan bisa berupa kepandaian, ketahanan (baik fisik maupun psikis), kekuatan, ketangkasan atau keterampilan dan berbagai kompetensi yang dimiliki oleh seseorang. Selain kompetensi itu, ujian juga bisa berupa harta kekayaan, jabatan atau pangkat, wanita, anak, bentuk fisik (tampan dan cantik), dan sebagainya. Ujian bisa juga berupa pengendalian emosional, seperti marah, malu, sombong, jenuh, ramah, kasar, tertawa dan sebagainya. Bahkan, ujian itu bisa berupa sakit (baik sakitnya biasa, parah, menahun dan sebagainya), dan bisa juga berupa kematian. Artinya, semua lini kehidupan yang dilalui dan dihadapi oleh setiap manusia mulai dari ia lahir ke dunia ini sampai ajal menjemputnya kelak merupakan ujian dari Allah Swt.

Ujian yang diberikan oleh Allah Swt itu berbagai macam bentuk dan variasinya. Tujuannya adalah sebagai bentuk perhatian dan mengingatkan kepada manusia untuk selalu berbuat kebaikan di muka bumi ini. Tidak lupa akan jati dirinya sebagai seorang manusia yang diciptakan untuk selalu mengabdi kepada-Nya. Hal ini sesuai dengan Firman-Nya “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (Qs.51:56). Ujian yang diberikan untuk melihat, seberapa besar ketaatan dan kesungguhannya dalam mengabdi (beribadah) kepada Allah Swt. Pengabdian itu tidak melulu ibadah ritual (shalat, zakat, puasa, haji dan lain-lain). Pengabdian itu merupakan totalitas kehidupan yang dijalani manusia di dunia ini. Begitulah, tujuan penciptaan jin dan manusia itu. Untuk itu, ujian yang diberikan-Nya itu bisa berupa kesenangan, kemewahan, kebahagiaan dan semua bentuk indahnya kehidupan di dunia ini. Hal ini telah dinyatakan-Nya bahwa “Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: "Tuhanku telah memuliakanku. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya maka dia berkata: "Tuhanku menghinakanku". (Qs.89:15-16). Kemuliaan dan kesenangan itu merupakan sesuatu yang didapatkan dari bantuan orang lain. itu semua bukan pemberian dari Allah Swt. Kemulian yang diperolehnya itu bisa karena kekayaan yang dimilikinya. Bisa juga karena memiliki kedudukan atau jabatan, dan sebagainya. Sebab, di ayat selanjutnya Allah Swt menyatakan tidak memberikannya. Firman-Nya Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim, dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin, dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampur baurkan (yang halal dan yang bathil), dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.” (Qs.89:17-20). Hal ini disebabkan, ia tidak memuliakan anak yatim, tidak saling mengajak memberi makan orang miskin dan suka memakan warta warisan dengan cara mencampuradukkan yang halal dan yang haram. Yang dimaksud dengan tidak memuliakan anak yatim itu ialah tidak memberikan hak-haknya dan tidak berbuat baik kepadanya. Artinya, kemuliaan dan kesenangan yang didapatkannya itu merupakan bentuk ‘hukuman’ dari Allah Swt karena ia lupa akan kewajiban yang telah dibebankan kepadanya. Diantaranya, menyayangi anak yatim dan suka memberi makan orang-orang miskin. Hal itu diakibatkan oleh kecintaannya terhadap harta bendanya secara berlebih-lebihan. Sehingga dijelaskan pada ayat ke 16, bahwa ketika Allah Swt membatasi rizkinya, maka ia beranggapan bahwa Allah Swt telah menghinakannya. Dia beranggapan bahwa kemiskinan yang diberikan Allah Swt itu merupakan sebuah kehinaan. Padahal, Allah Swt menyalahkan orang-orang yang mengatakan bahwa kekayaan itu adalah suatu kemuliaan dan kemiskinan itu adalah suatu kehinaan.

Selain itu, ujian bisa juga berupa kesedihan, kesusahan, kepahitan, kemiskinan, dan berbagai bentuk penderitaan hidup lainnya selama di dunia. Semua kehidupan yang diberikan-Nya itu merupakan ujian. Allah Swt  menyatakan bahwa ujian itu juga berlaku kepada umat terdahulu. Ujian itu diberikan kepada orang yang beriman dan orang yang berbuat kejahatan. Setiap perbuatan yang dilakukan di dunia ini akan mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah Swt. Perbuatan baik, akan mendapatkan kebaikan berupa kesenangan surga-Nya. Sedangkan perbuatan jahat akan mendapatkan azab-Nya. Manusia tidak bisa mengelabui dan mendustakan setiap perbuatannya. Baik dan buruknya akan diketahui oleh Allah Swt. Manusia harus selalu ingat bahwa hari pertemuan dengan Allah itu pasti akan terjadi. Untuk itu, manfaatkan segala pemberian Allah Swt untuk selalu taat dan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala yang di larang-Nya. Hal ini sesuai dengan Firman-Nya “Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?. Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. Ataukah orang-orang yang mengerjakan kejahatan itu mengira bahwa mereka akan luput (dari azab) Kami? Amatlah buruk apa yang mereka tetapkan itu. Barangsiapa yang mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu, pasti datang. Dan Dialah Yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. (Qs.29:1-5).

Ujian yang diberikan kepada manusia merupakan tangga untuk bisa naik mencapai derajat yang lebih tinggi. Setiap orang yang ingin sampai kepuncak, maka ia harus menaiki anak tangga itu satu-persatu. Artinya, setiap anak tangga yang dinaiki itu merupakan bentuk ujian yang harus dihadapi dan digapai dengan baik. Berat dan ringannya sebuah ujian tergantung tingkatan yang ingin diraih. Semakin tinggi derajat yang akan diraihnya maka semakin besar dan berat ujiannya. Contohnya anak SD, SLTP, SLTA dan Mahasiswa yang ingin lulus dari setiap jenjangnya harus diuji terlebih dahulu. Jika ia lulus maka bisa meneruskan ke jenjang selanjutnya. Ujian itu, diberikan sesuai dengan standar tingkatannya. Misalnya, ujian tingkat SD, SLTP, SLTA dan Mahasiswa akan diberikan sesuai dengan jenjangnya. Tidak bisa, ujian tingkat SD diberikan kepada SLTP apalagi Mahasiswa. Tentunya ujian itu akan mudah dilalui atau dihadapi oleh mereka. Atau sebaliknya, ujian tingkat SLTA diberikan kepada tingkat SD. Tentunya, ujian itu tidak sesuai dan akan sangat memberatkan sekali bagi mereka. Begitu juga dalam kehidupan ini. Allah Swt tidak akan memberikan ujian kepada hamba-Nya sedangkan mereka tidak mampu memikul bebannya. Allah Swt akan memberikan ujian sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh setiap orang. Sehingga, wajar saja setiap orang beda-beda menerima ujian yang diberikan-Nya. Hal ini sesuai dengan firman-Nya Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir. (Qs.2:286).

Hidup adalah ujian. Untuk itu, jangan takut dengan ujian itu. Takutlah kalau kita tidak bisa menghadapi serta memaknai ujian itu dengan baik. Sesulit atau semudah apapun ujian itu datang kepada kita harus diterima dengan lapang dada. Ujian diperlukan untuk mengetahui sejauh mana ketercapaian pembelajaran yang telah diberikan selama ini. Ujian juga diberikan untuk mengetahui ketercapaian target atau tujuan kehidupan yang telah diberikan Allah Swt kepada setiap orang. Jika tidak diadakan ujian maka sulit mengetahui ketercapaiannya. Semakin banyak dan sulit ujian yang diberikan jika dia mampu menjawab dan mengatasinya maka dia akan lulus. Dan berhak lanjut ke tahapan selanjutnya. Untuk itu, mereka yang mendapatkan ujian dari Allah Swt hendaklah selalu sabar dan takwa dalam menjalaninya. Dengan begitu, maka Allah Swt akan memberikan kemudahan dalam setiap usaha yang dilakukannya. Hal ini telah Allah Swt menyatakan bahwa Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan. (Qs.3:186)

Begitu juga dalam kehidupan manusia di muka bumi ini tidak pernah luput dari ujian. Allah Swt telah memberikan amanah (kepercayaan) kepada manusia untuk mengelola bumi ini sebaik-baiknya. Amanah yang diberikan itu merupakan sebuah bentuk kepercayaan yang diberikan-Nya kepada manusia. Amanah itu merupakan sesuatu yang sangat berat dibebankan kepada manusia. Langit, bumi dan gunung yang besar dan memiliki kekuatan yang besar saja tidak sanggup memikul amanah itu. Justru, manusia yang kecil dan lemah mau menerimanya. Sehingga, amanah itu merupakan sebuah bentuk ujian yang diberikan oleh Allah Swt kepada manusia. Walaupun pada akhirnya, manusia dikatakan Allah Swt sebagai orang yang amat zalim dan amat bodoh karena mau menerima amanah itu. Hal ini dinyatakan dalam Firman-Nya Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh, sehingga Allah mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrikin laki-laki dan perempuan; dan sehingga Allah menerima taubat orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs.33:72-73). Untuk memikul amanat yang diberikan-Nya itu, maka Allah Swt menjadikan manusia sebagai khalifah (penguasa) di muka bumi “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (Qs.2:30). Untuk itu, manusia diberikan kebebasan untuk mengelola dan menjaga bumi ini agar tetap seimbang. Sehingga amanah yang diberikan itu bisa dijalankan dengan sebaik mungkin.

Dalam kehidupan di dunia, manusia memerlukan berbagai macam kebutuhan untuk hidup. Untuk mendapatkan kebutuhan tersebut, mereka melakukan berbagai macam usaha yang baik maupun buruk (halal dan haram). Dengan usaha yang maksimal, maka kebutuhan yang diinginkan bisa terwujud sesuai dengan kehendaknya. Sehingga berbagai macam fasilitas hidup bisa dinikmatinya dengan baik. Seperti rumah, mobil, hotel, jabatan, emas, berlian, anak, ternak, ladang, sawah dan sebagainya. Kenikmatan hidup yang diinginkan itu bisa diraih oleh manusia yang mau berusaha maksimal untuk mendapatkannya. Akibat dari kenikmatan yang diperolehnya itu, maka terkadang manusia lupa bahwa segala yang diberikan Allah kepada mereka merupakan Titipan yang harus dijaga dan dipergunakan untuk kebaikan. Mereka lupa bahwa harta benda, jabatan, anak dan segala yang dimilikinya itu merupakan Ujian. Kalau dia mampu menjaga dan menggunakannya dengan baik-baiknya, maka dia bisa lulus dari ujian tersebut. Hal ini telah dinyatakan Allah Swt dalam firman-Nya, yaitu Maka apabila manusia ditimpa bahaya ia menyeru Kami, kemudian apabila Kami berikan kepadanya nikmat dari Kami ia berkata: "Sesungguhnya aku diberi nikmat itu hanyalah karena kepintaranku." Sebenarnya itu adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka itu tidak mengetahui. Sungguh orang-orang yang sebelum mereka (juga) telah mengatakan itu pula, maka tiadalah berguna bagi mereka apa yang dahulu mereka usahakan.” (39:49-50). Allah Swt menyatakan bahwa apabila manusia ditimpa bahaya dan kesusahan maka ia baru ingat dan sadar dan meminta tolong kepada-Nya. Akan tetapi ketika manusia berada dalam kenikmatan maka dia cenderung lupa dan menyombongkan diri. Manusia terkadang tidak menyadari dan mengatahuinya. Ia merasa bahwa segala nikmat yang telah didapatkannya itu dari kepintaran yang dimilikinya. Dengan kepintarannya itu, ia bisa berusaha untuk mendapatkannya. Padahal, kelak usaha yang dilakukan manusia itu tidak berguna sama sekali di hadapan Allah Swt. Sebab, semua itu merupakan ujian dari-Nya dan hanya orang yang selalu mengingat-Nya sajalah yang mengetahui hal itu, sehingga dia sadar bahwa segala yang dimiliknya merupakan amanah yang harus dijaga dan digunakan untuk kemaslahatan orang banyak. Dengan demikian kita bisa menjalani setiap ujian yang diberikan Allah Swt dengan lapang dada dan berharap bisa lulus menjalaninya dan mendapatkan berkah dan rida-Nya sehingga kita bisa menikmati kehidupan ini dengan tenang, damai dan sejahtera sampai menutup mata dan mudah-mudahan sampai dibangkitkan lagi kelak. Semoga!

#Mari Sebarkan Kebaikan#
Paringin, 18 Juni 2019

Tidak ada komentar:

Popular