Radar
Banjar, Kamis 27 Februari 2020 memuat berita dengan judul “PGRI Protes
Guru Digunduli”. Berita itu terkait dengan kejadian susur sungai Sempor
yang menewaskan 10 siswa SMPN 1 Turi Yogyakarta. Dalam kejadian itu polisi telah
menetapkan tiga tersangka. Mereka merupakan Pembina pramuka di SMPN 1 Turi,
yaitu IYA (36), DDS (58) dan R (58). Status tersangka ditetapkan oleh Polres
Sleman Yogyakarta karena mereka dianggap lalai sehingga menyebabkan adanya korbar
meninggal dunia. Padahal mereka yang bertiga ini sudah memiliki sertifikat
dalam kepramukaan karena telah lulus Kursus Mahir Dasar (KMD) Pramuka. Namun,
karena dinilai gagal dalam mengantisipasi adanya gejala alam seperti cuaca
mendung dan hujan, maka terjadilah tragedi memilukan itu.
Pada
saat konferensi pers, Polres Sleman Yogyakarta menghadirkan ketiga guru itu
sebagai tersangka. Ada hal yang menarik dan membuat heboh para guru se
Indonesia. Ketiga guru itu sudah memakai baju tahanan dan kepala ketiganya
digunduli. Banyak sekali protes guru-guru di media sosial dengan perlakukan
kepolisian terhadap ketiganya. Ketiga guru Pembina pramuka itu digunduli,
seolah-olah mereka disamakan dengan para pelaku kejahatan seperti maling,
begal, perampok dan sebagainya. Padahal mereka itu hanya lalai saja terhadap
tugasnya sehingga menimbulkan korban jiwa. Guru-guru tidak terima dengan
perlakuan pihak kepolisian kepada ketiganya. Kalau dilihat dari aspek hukum,
mungkin mereka bersalah karena telah lalai. Akan tetapi, dari segi etika tidak
sepantasnya mereka disamakan dengan pelaku kejahatan lainnya. Sampai-sampai
Ketua Umum PGRI Pusat, Prof. Unifah datang untuk melakukan investigasi dan
memberikan bantuan hukum kepada ketiganya. Unifah juga meminta agar tidak menyalahkan
ketiga guru itu semata. Menurut Ketua LKBH PGRI Pusat, Ahmad Wahyudi mengatakan
dari penelusuran awal yang telah dilakukan, pihaknya tidak menemukan
pelanggaran prosedural yang dilakukan oleh sekolah dalam penyelenggaraan
program susur sungai pramuka itu. Bahkan beredar di group WatsApp hasil
investigasi dari Advokat PGRI pada hari Senin, 24 Februari 2020 yang menyatakan
bahwa kegiatan susur sungai adalah legal formal/resmi, bukan spontan dengan
dasar : (1) Kegiatan Pramuka adalah kegiatan Ekstrakulekuler Wajib, (2)
Kegiatan Pramuka sudah diprogramkan di rencana Kerja Sekolah dan masuk dalam
RAPB sekolah, (3) Program Ekstrakulekuler Pramuka diadakan tiap hari jumat, (4)
Program dibuat secara rigit dalam satu tahun, termasuk kegiatan susur sungai,
(5) Program susur sungai adalah legal diadakan setiap tahun, dan (6) Selama ini
dan sudah bertahun-tahun tidak pernah terjadi apa-apa. Untuk itu, pihak
kepolisian harus jeli melihat kasus ini sehingga tidak menyalahkan guru semata.
Sebab, tidak ada yang menghendaki setiap bencana atau musibah itu terjadi.
Tragedi susur sungai itu murni karena musibah yang tidak bisa terhindarkan
lagi. Siapapun tidak menghendakinya. Tetapi, semua telah terjadi. 10 dari 200
siswa yang ikut susur sungai itu tewas. Pihak kepolisian telah menetapkan tiga
guru Pembina menjadi tersangka. Dan saat ini telah dimasukkan ke dalam penjara.
Pada
saat jumpa pers, salah satu guru Pembina Pramuka yang dijadikan tersangka
memberikan klarifikasinya. IYA menyampaikan rasa penyesalan, serta meminta maaf
kepada keluarga. IYA menjelaskan, kejadian itu berawal dari keinginan para
Pembina pramuka untuk memperkenalkan kegiatan outbound di pinggir sungai kepada siswa-siswi SMPN 1 Turi. Sebelum para
siswa menyusuri sungai, IYA mengaku sempat memeriksa arus sungai dan jalur awal
susur sungai bersama temannya. IYA menyiapkan para para siswa pukul 13.15 WIB.
Selang 15 menit dia memberangkatkan siswa. Saat itu hujan belum turun. Mereka
tidak mengetahui bahwa di daerah hulu sungai itu hujan sangat lebat sehingga
menyebabkan air meluap dan mengalir deras kea rah hilirnya. Nah, pada saat
itulah, para siswa yang mengadakan kegiatan susur sungai tidak menyangka air
bah datang secepat itu. Sehingga, sebagian dari mereka tidak bisa menyelamatkan
diri dan dinyatakan tewas terseret air bah itu.
Menurut
Peraturan Menteri pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 63 Tahun 2014 pada Pasal 2
atay 1 menyatakan bahwa Pendidikan kepramukaan merupakan kegiatan Ekstrakulekuler
Wajib yang harus dilaksanakan semua jenjang pendidikan dari tingkat Dasar
sampai Menengah. Pasal 2 ayat 2 menyatakan kegiatan ekstrakulekuler wajib
kepramukaan harus diikuti oleh seluruh peserta didik. Dalam Pasal 7 ayat 2 yang
menyatakan bahwa Pembina Pramuka adalah Guru Kelas/Guru Mata pelajaran yang
telah memperoleh sertifikat paling rendah kursus dasar atau Pembina Pramuka
yang bukan guru kelas/guru mata pelajaran. Artinya secara hukum, para guru itu
telah memenuhi aturan yang berlaku. Mereka melaksanakan kegiatan pramuka dengan
susur sungai itu merupakan Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) mereka sebagai
Pembina Pramuka. Mereka juga telah memiliki sertifikat kepelatihan Pramuka. Artinya
mereka melakukannya dengan legal dan prosedural. Selain itu, dalam
Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen disebutkan pada Pasal
7 Ayat 1 poin h disebutkan profesi guru memiliki jaminan perlindungan hukum
dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya. Pada Pasal 14 ayat 1 poin c juga
disebutkan bahwa Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan itu, guru berhak memperoleh
perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual. Sehingga
tidak etis kalau guru yang melakukan kesalahan bukan karena kesengajaan dan
juga bukan tindak kriminal kejahatan diperlakukan sama dengan pelaku kejahatan
itu.
Kasus ini
merupakan sebuah pukulan bagi dunia pendidikan kita. Guru
yang telah melakukan tugasnya sesuai dengan prosedur yang berlaku, hanya akibat
musibah alam menjadi tersangka dan dipenjara. Memang, kejadian itu sudah
menimbulkan kehilangan nyawa beberapa siswa. Akan tetapi, itu merupakan musibah
yang tidak bisa dihindari oleh siapapun. Kedepan, kalau peristiwa ini terus
berujung kepada status terdakwa dan dapat vonis hukum secara inkrah. Maka akan
membuat efek jera bagi guru-guru yang lain. Guru akan berpikir untuk membawa
siswa-siswinya untuk belajar di luar sekolah. Seperti outbound, camping,
rekreasi, pantai, gunung dan sebagainya. Mereka akan merasa takut kalau terjadi
musibah yang akan menimpa mereka nantinya. Kalau sudah seperti ini, maka
pendidikan anak akan terhambat. Kreatifitas guru dan siswa tidak akan bisa
berkembang. Pengetahuan akan terkungkung di dalam sekolah saja. Guru tidak
berani membawa siswa-siswainya keluar sekolah. Hal ini akan berakibat fatal
bagi perkembangan dunia pendidikan di Indonesia nantinya. Peristiwa ini akan
menjadi presiden buruk bagi pendidikan ke depannya. Sebab, pendidikan yang
diajarkan itu tidak melulu teori yang ada di sekolah. Para siswa juga perlu
belajar tentang ilmu pengetahuan di luar lingkungan sekolah. Para siswa juga
perlu dibekali ilmu tentang kehidupan dan lingkungan. Ketika mereka melakukan outbound,
rekreasi, susur sungai, pendakian gunung, pantai dan sebagainya. Mereka akan
belajar tentang banyak hal dalam kehidupan di muka bumi. Mereka bisa belajar
disiplin, kerjasama, kelompok, empati, simpati, dan arti kehidupan yang
sebenarnya. Selain ilmu pengetahuan, banyak pula pengalaman hidup yang mereka
dapat. Sehingga siap nantinya ketika terjun ke masyarakat. Mengamalkan ilmu
yang telah didapatnya selama pendidikan di sekolah.
Kita semua
berharap. Pihak aparat hukum bisa bertindak dengan adil dan bijaksana. Bisa membedakan
mana yang murni pelanggaran hukum dan etika. Jika terbukti nantinya mereka
melanggar hukum, biarlah mereka menanggung resikonya. Akan tetapi janganlah melecehkan
profesi guru dengan cara menggunduli mereka. Janganlah setiap pelanggaran hukum
itu disamakan kasusnya dengan perbuatan kriminal. Kasus itu terjadi akibat faktor
kelalaian saja. Kalau perlu diselesaikan secara kekeluargaan saja. Tidak usah
sampai ke meja hijau. Sehingga hal ini tidak akan terjadi lagi nantinya.Semoga!!!
#Menyebarkanluaskan
Kebaikan#
Paringin,
27 Februari 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar