MENYEBARLUASKAN KEBAIKAN

Web ini Kumpulan tulisan kajian keagamaan yang menarik berdasarkan Al Qur’an dan Hadits Nabi Saw. Selain tulisan, Web juga berisi berita menarik seputar Madrasah, Video Tiktok dan Youtube yang baik untuk ditonton. Ikuti terus kajiannya, jangan sampai terlewatkan. Baca semua tulisannya. Semoga mendapatkan kebaikan. Amin

Selasa, 18 Juni 2019

Ujian

Ujian berasal dari kata uji yang artinya percobaan untuk mengetahui mutu sesuatu (ketulenan, kecakapan ketahanan, dsb). Dari kata uji itu muncul kata menguji yang artinya memeriksa untuk mengetahui mutu (kepandaian, kompetensi) sesuatu. Dari kata menguji muncul lagi kata ujian yang artinya hasil menguji, hasil memeriksa, atau sesuatu yg dipakai untuk menguji mutu sesuatu (baik kepandaian, kemampuan, hasil belajar, dan sebagainya). Ujian bisa juga berarti cobaan. Dari pengertian itu, maka ujian merupakan suatu hasil dari pengujian seseorang. Pengujian yang dilakukan bisa berupa kepandaian, ketahanan (baik fisik maupun psikis), kekuatan, ketangkasan atau keterampilan dan berbagai kompetensi yang dimiliki oleh seseorang. Selain kompetensi itu, ujian juga bisa berupa harta kekayaan, jabatan atau pangkat, wanita, anak, bentuk fisik (tampan dan cantik), dan sebagainya. Ujian bisa juga berupa pengendalian emosional, seperti marah, malu, sombong, jenuh, ramah, kasar, tertawa dan sebagainya. Bahkan, ujian itu bisa berupa sakit (baik sakitnya biasa, parah, menahun dan sebagainya), dan bisa juga berupa kematian. Artinya, semua lini kehidupan yang dilalui dan dihadapi oleh setiap manusia mulai dari ia lahir ke dunia ini sampai ajal menjemputnya kelak merupakan ujian dari Allah Swt.

Ujian yang diberikan oleh Allah Swt itu berbagai macam bentuk dan variasinya. Tujuannya adalah sebagai bentuk perhatian dan mengingatkan kepada manusia untuk selalu berbuat kebaikan di muka bumi ini. Tidak lupa akan jati dirinya sebagai seorang manusia yang diciptakan untuk selalu mengabdi kepada-Nya. Hal ini sesuai dengan Firman-Nya “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (Qs.51:56). Ujian yang diberikan untuk melihat, seberapa besar ketaatan dan kesungguhannya dalam mengabdi (beribadah) kepada Allah Swt. Pengabdian itu tidak melulu ibadah ritual (shalat, zakat, puasa, haji dan lain-lain). Pengabdian itu merupakan totalitas kehidupan yang dijalani manusia di dunia ini. Begitulah, tujuan penciptaan jin dan manusia itu. Untuk itu, ujian yang diberikan-Nya itu bisa berupa kesenangan, kemewahan, kebahagiaan dan semua bentuk indahnya kehidupan di dunia ini. Hal ini telah dinyatakan-Nya bahwa “Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: "Tuhanku telah memuliakanku. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya maka dia berkata: "Tuhanku menghinakanku". (Qs.89:15-16). Kemuliaan dan kesenangan itu merupakan sesuatu yang didapatkan dari bantuan orang lain. itu semua bukan pemberian dari Allah Swt. Kemulian yang diperolehnya itu bisa karena kekayaan yang dimilikinya. Bisa juga karena memiliki kedudukan atau jabatan, dan sebagainya. Sebab, di ayat selanjutnya Allah Swt menyatakan tidak memberikannya. Firman-Nya Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim, dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin, dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampur baurkan (yang halal dan yang bathil), dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.” (Qs.89:17-20). Hal ini disebabkan, ia tidak memuliakan anak yatim, tidak saling mengajak memberi makan orang miskin dan suka memakan warta warisan dengan cara mencampuradukkan yang halal dan yang haram. Yang dimaksud dengan tidak memuliakan anak yatim itu ialah tidak memberikan hak-haknya dan tidak berbuat baik kepadanya. Artinya, kemuliaan dan kesenangan yang didapatkannya itu merupakan bentuk ‘hukuman’ dari Allah Swt karena ia lupa akan kewajiban yang telah dibebankan kepadanya. Diantaranya, menyayangi anak yatim dan suka memberi makan orang-orang miskin. Hal itu diakibatkan oleh kecintaannya terhadap harta bendanya secara berlebih-lebihan. Sehingga dijelaskan pada ayat ke 16, bahwa ketika Allah Swt membatasi rizkinya, maka ia beranggapan bahwa Allah Swt telah menghinakannya. Dia beranggapan bahwa kemiskinan yang diberikan Allah Swt itu merupakan sebuah kehinaan. Padahal, Allah Swt menyalahkan orang-orang yang mengatakan bahwa kekayaan itu adalah suatu kemuliaan dan kemiskinan itu adalah suatu kehinaan.

Selain itu, ujian bisa juga berupa kesedihan, kesusahan, kepahitan, kemiskinan, dan berbagai bentuk penderitaan hidup lainnya selama di dunia. Semua kehidupan yang diberikan-Nya itu merupakan ujian. Allah Swt  menyatakan bahwa ujian itu juga berlaku kepada umat terdahulu. Ujian itu diberikan kepada orang yang beriman dan orang yang berbuat kejahatan. Setiap perbuatan yang dilakukan di dunia ini akan mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah Swt. Perbuatan baik, akan mendapatkan kebaikan berupa kesenangan surga-Nya. Sedangkan perbuatan jahat akan mendapatkan azab-Nya. Manusia tidak bisa mengelabui dan mendustakan setiap perbuatannya. Baik dan buruknya akan diketahui oleh Allah Swt. Manusia harus selalu ingat bahwa hari pertemuan dengan Allah itu pasti akan terjadi. Untuk itu, manfaatkan segala pemberian Allah Swt untuk selalu taat dan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala yang di larang-Nya. Hal ini sesuai dengan Firman-Nya “Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?. Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. Ataukah orang-orang yang mengerjakan kejahatan itu mengira bahwa mereka akan luput (dari azab) Kami? Amatlah buruk apa yang mereka tetapkan itu. Barangsiapa yang mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu, pasti datang. Dan Dialah Yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. (Qs.29:1-5).

Ujian yang diberikan kepada manusia merupakan tangga untuk bisa naik mencapai derajat yang lebih tinggi. Setiap orang yang ingin sampai kepuncak, maka ia harus menaiki anak tangga itu satu-persatu. Artinya, setiap anak tangga yang dinaiki itu merupakan bentuk ujian yang harus dihadapi dan digapai dengan baik. Berat dan ringannya sebuah ujian tergantung tingkatan yang ingin diraih. Semakin tinggi derajat yang akan diraihnya maka semakin besar dan berat ujiannya. Contohnya anak SD, SLTP, SLTA dan Mahasiswa yang ingin lulus dari setiap jenjangnya harus diuji terlebih dahulu. Jika ia lulus maka bisa meneruskan ke jenjang selanjutnya. Ujian itu, diberikan sesuai dengan standar tingkatannya. Misalnya, ujian tingkat SD, SLTP, SLTA dan Mahasiswa akan diberikan sesuai dengan jenjangnya. Tidak bisa, ujian tingkat SD diberikan kepada SLTP apalagi Mahasiswa. Tentunya ujian itu akan mudah dilalui atau dihadapi oleh mereka. Atau sebaliknya, ujian tingkat SLTA diberikan kepada tingkat SD. Tentunya, ujian itu tidak sesuai dan akan sangat memberatkan sekali bagi mereka. Begitu juga dalam kehidupan ini. Allah Swt tidak akan memberikan ujian kepada hamba-Nya sedangkan mereka tidak mampu memikul bebannya. Allah Swt akan memberikan ujian sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh setiap orang. Sehingga, wajar saja setiap orang beda-beda menerima ujian yang diberikan-Nya. Hal ini sesuai dengan firman-Nya Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir. (Qs.2:286).

Hidup adalah ujian. Untuk itu, jangan takut dengan ujian itu. Takutlah kalau kita tidak bisa menghadapi serta memaknai ujian itu dengan baik. Sesulit atau semudah apapun ujian itu datang kepada kita harus diterima dengan lapang dada. Ujian diperlukan untuk mengetahui sejauh mana ketercapaian pembelajaran yang telah diberikan selama ini. Ujian juga diberikan untuk mengetahui ketercapaian target atau tujuan kehidupan yang telah diberikan Allah Swt kepada setiap orang. Jika tidak diadakan ujian maka sulit mengetahui ketercapaiannya. Semakin banyak dan sulit ujian yang diberikan jika dia mampu menjawab dan mengatasinya maka dia akan lulus. Dan berhak lanjut ke tahapan selanjutnya. Untuk itu, mereka yang mendapatkan ujian dari Allah Swt hendaklah selalu sabar dan takwa dalam menjalaninya. Dengan begitu, maka Allah Swt akan memberikan kemudahan dalam setiap usaha yang dilakukannya. Hal ini telah Allah Swt menyatakan bahwa Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan. (Qs.3:186)

Begitu juga dalam kehidupan manusia di muka bumi ini tidak pernah luput dari ujian. Allah Swt telah memberikan amanah (kepercayaan) kepada manusia untuk mengelola bumi ini sebaik-baiknya. Amanah yang diberikan itu merupakan sebuah bentuk kepercayaan yang diberikan-Nya kepada manusia. Amanah itu merupakan sesuatu yang sangat berat dibebankan kepada manusia. Langit, bumi dan gunung yang besar dan memiliki kekuatan yang besar saja tidak sanggup memikul amanah itu. Justru, manusia yang kecil dan lemah mau menerimanya. Sehingga, amanah itu merupakan sebuah bentuk ujian yang diberikan oleh Allah Swt kepada manusia. Walaupun pada akhirnya, manusia dikatakan Allah Swt sebagai orang yang amat zalim dan amat bodoh karena mau menerima amanah itu. Hal ini dinyatakan dalam Firman-Nya Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh, sehingga Allah mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrikin laki-laki dan perempuan; dan sehingga Allah menerima taubat orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs.33:72-73). Untuk memikul amanat yang diberikan-Nya itu, maka Allah Swt menjadikan manusia sebagai khalifah (penguasa) di muka bumi “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (Qs.2:30). Untuk itu, manusia diberikan kebebasan untuk mengelola dan menjaga bumi ini agar tetap seimbang. Sehingga amanah yang diberikan itu bisa dijalankan dengan sebaik mungkin.

Dalam kehidupan di dunia, manusia memerlukan berbagai macam kebutuhan untuk hidup. Untuk mendapatkan kebutuhan tersebut, mereka melakukan berbagai macam usaha yang baik maupun buruk (halal dan haram). Dengan usaha yang maksimal, maka kebutuhan yang diinginkan bisa terwujud sesuai dengan kehendaknya. Sehingga berbagai macam fasilitas hidup bisa dinikmatinya dengan baik. Seperti rumah, mobil, hotel, jabatan, emas, berlian, anak, ternak, ladang, sawah dan sebagainya. Kenikmatan hidup yang diinginkan itu bisa diraih oleh manusia yang mau berusaha maksimal untuk mendapatkannya. Akibat dari kenikmatan yang diperolehnya itu, maka terkadang manusia lupa bahwa segala yang diberikan Allah kepada mereka merupakan Titipan yang harus dijaga dan dipergunakan untuk kebaikan. Mereka lupa bahwa harta benda, jabatan, anak dan segala yang dimilikinya itu merupakan Ujian. Kalau dia mampu menjaga dan menggunakannya dengan baik-baiknya, maka dia bisa lulus dari ujian tersebut. Hal ini telah dinyatakan Allah Swt dalam firman-Nya, yaitu Maka apabila manusia ditimpa bahaya ia menyeru Kami, kemudian apabila Kami berikan kepadanya nikmat dari Kami ia berkata: "Sesungguhnya aku diberi nikmat itu hanyalah karena kepintaranku." Sebenarnya itu adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka itu tidak mengetahui. Sungguh orang-orang yang sebelum mereka (juga) telah mengatakan itu pula, maka tiadalah berguna bagi mereka apa yang dahulu mereka usahakan.” (39:49-50). Allah Swt menyatakan bahwa apabila manusia ditimpa bahaya dan kesusahan maka ia baru ingat dan sadar dan meminta tolong kepada-Nya. Akan tetapi ketika manusia berada dalam kenikmatan maka dia cenderung lupa dan menyombongkan diri. Manusia terkadang tidak menyadari dan mengatahuinya. Ia merasa bahwa segala nikmat yang telah didapatkannya itu dari kepintaran yang dimilikinya. Dengan kepintarannya itu, ia bisa berusaha untuk mendapatkannya. Padahal, kelak usaha yang dilakukan manusia itu tidak berguna sama sekali di hadapan Allah Swt. Sebab, semua itu merupakan ujian dari-Nya dan hanya orang yang selalu mengingat-Nya sajalah yang mengetahui hal itu, sehingga dia sadar bahwa segala yang dimiliknya merupakan amanah yang harus dijaga dan digunakan untuk kemaslahatan orang banyak. Dengan demikian kita bisa menjalani setiap ujian yang diberikan Allah Swt dengan lapang dada dan berharap bisa lulus menjalaninya dan mendapatkan berkah dan rida-Nya sehingga kita bisa menikmati kehidupan ini dengan tenang, damai dan sejahtera sampai menutup mata dan mudah-mudahan sampai dibangkitkan lagi kelak. Semoga!

#Mari Sebarkan Kebaikan#
Paringin, 18 Juni 2019

Senin, 03 Juni 2019

Meraih Fitrah di Hari kemenangan

Sebentar lagi suara takbir, tahmid dan tahlil akan terdengar menggema di seluruh dunia. Pada hari itu, seluruh umat Islam di belahan dunia ini akan merayakan Hari Raya Idul Fitri. Tak terkecuali di Indonesia. Dengan terdengarnya gema takbir, tahmid dan tahlil tersebut, maka berakhirlah bulan Ramadan yang penuh berkah ini. Di mana umat Islam merayakan hari kemenangan setelah selama sebulan penuh berpuasa, menahan diri dari makan, minum dan berhubungan seksual antara suami-isteri di siang hari. Pada bulan Ramadan juga banyak diisi dengan tadarus al qur’an, shalat tarawih, buka puasa bersama, ceramah agama dan berbagai macam kegiatan keagamaan lainnya. Di bulan Ramadan juga, umat Islam disuruh untuk menahan diri dari sifat-sifat tercela. Diantaranya, marah, ghibah (mengungkap dan membicarakan aib orang lain), dusta, sombong, berkata kasar, benci, dendam, fitnah, namimah (adu dumba), hasad (tidak suka orang lain mendapat nikmat dan berusaha untuk menghilangkannya), iri dan sebagainya. Semua itu dilakukan untuk mendapatkan keberkahan Ramadan. Dan tentunya ingin mendapatkan derajat takwa di sisi Allah Swt (Qs. 2:183).

Selama Ramadan, umat Islam ‘bertarung’ melawan hawa nafsunya. Dorongan-dorongan dari hawa nafsu itu dikekang sedemikian rupa agar bisa dikendalikan dengan sebaik-baiknya. Ketika seorang Muslim mampu mengendalikan hawa nafsunya itu, maka dia akan menjadi orang yang benar-benar bertakwa kepada Allah Swt. Hal ini dituntut untuk terus dilakukan di bulan-bulan selanjutnya sampai ramadan tiba kembali. Bulan Ramadan merupakan bulan latihan. Melatih diri dan emosi untuk lebih baik lagi. Dengan Ramadan, diharapkan tercipta akhlak mulia di setiap diri umat Islam. Dengan begitu, sangat wajar kalau umat Islam pada tanggal 1 Syawal merayakan hari kemenangan itu. Ucapan Minal ‘Aidin wal Faizin ‘Mohon Maaf Lahir dan Bathin’ terdengar dimana-mana, saling bersahutan baik langsung diucapkan kepada orang yang ditemuinya, maupun melalui sambungan telepon. Ucapan itu bisa juga disampaikan melalui media sosial, baik facebook, wathsapp, instagram, twetter, telegram, dan sebagainya. Hari itu dinamakan sebagai hari raya idul fitri. Ada juga yang menyebutnya dengan hari raya fitrah. Karena pada hari itu juga dikeluarkan zakat wajib bagi setiap orang Islam. Zakat itu disebut zakat fitrah. Zakat itu diserahkan kepada mereka yang berhak menerimanya. Menurut Al qur’an (Qs.9:60) mereka yang berhak mendapat zakat itu adalah orang-orang fakir, miskin, amil zakat, mualaf, memerdekakan budak, orang yang berhutang, fisabilillah, dan ibnu sabil. Zakat itu diserahkan sebelum shalat Idul Fitri dilaksanakan. Apabila telah lewat waktu penyerahan itu, maka tidak dikategorikan sebagai zakat lagi, akan tetapi menjadi sedekah sunah saja.

Menurut Prof. DR. Quraish Shihab, kata Fitri atau fitrah terambil dari kata fithr. Kata tersebut sedikitnya memiliki tiga makna, yaitu kesucian, agama yang benar dan jalan yang lurus. Beliau mengatakan, bahwa ketiga makna ini yang harus diraih setiap orang Islam selama mereka berpuasa di bulan Ramadan. Jika mereka meraih ketiga makna tersebut di dalam dirinya, maka ia akan meraih kemenangan. Kesucian merupakan asal kejadian manusia. Rasulullah Saw menyatakan bahwa setiap manusia lahir dalam keadaan suci, tergantung kedua orang tuanya yang menjadikannya kelak beragama Majusi, Yahudi ataupun Nashrani. Manusia yang baru lahir ibarat kertas putih yang tidak ada noda apapun didalamnya. Hal inilah yang diharapkan pada hari kemenangan itu. Rasulullah saw bersabda, ‘Barangsiapa yang berpuasa dengan keimanan dan kesungguhan melihat kekurangan dirinya, maka akan diampuni dosa-dosanya yang terdahulu dan yang akan datang (HR. Bukhari Muslim). Dari hadits ini jelaslah, bahwa semua umat Islam yang sudah berpuasa dengan keimanan dan tekad yang sungguh-sungguh untuk memperbaiki dirinya, maka dosa-dosanya akan diampuni Allah Swt. Tidak hanya dosa yang terdahulu, bahkan dosa yang akan datang pun akan diampuni-Nya. Ketika dosa-dosa sudah diampuni, maka manusia akan kembali kepada kesucian sebagaimana waktu ia dilahirkan dulu.

Selain meraih kesucian karena puasanya, setiap umat Islam juga akan mendapatkan kembali agamanya. Selama, Ramadan setiap kewajiban dijalankannya. Bahkan yang sunah pun dikerjakan. Hal ini sangat berbeda ketika di luar bulan Ramadan. Mesjid dan mushalla selalu terisi disetiap waktu shalat. Waktu shalat menjadi perhatian. Shalat berjamaah selalu dikerjakan. Setelah selesai shalat, banyak yang duduk untuk beri’tikaf sambil membaca al qur’an. Kelompok tadarus al qur’an ada disetiap mesjid dan mushalla. Pengajian-pengajian agama juga aktif di mana-mana. Tidak hanya di tempat-tempat ibadah (mesjid dan mushalla), pengajian juga dilakukan diperkantoran pemerintah maupun swasta, sekolah, hotel, gedung dan sebagainya. Ada pengajian subuh, siang, sore menjelang berbuka dan malam. Selain itu, tayangan ditelevisi juga mencerminkan keagamaan. Di media sosial, status yang dipasang maupun yang dikirim ke orang lain juga penuh dengan nasihat keagamaan. Foto-foto dan video yang kurang pantas sangat jarang terlihat. Bahkan, gaya berpakaian para artis, publik figur dan wanita muslim lainnya yang selama ini biasa terbuka dan cenderung menampakkan auratnya, justru di bulan Ramadan ini tertutup dan bahkan ada yang berhijab. Selama Ramadan, agama yang dulunya seolah-olah telang ‘hilang’ pada diri sebagian umat Islam akhirnya kembali lagi. Bisa juga bermakna, agama yang dulu dikerjakan belum benar dan sungguh-sungguh, ternyata di bulan Ramadan ini bisa dilakukan dengan benar dan tulus. Sehingga kemenangan yang didapatkan bisa bertambah lagi, dari kesucian diri kemudian mendapatkan lagi agamanya dengan baik dan benar.

Hal itu, akan membuat orang Islam  mengerjakan agamanya dengan tegak lurus.  Sedikitnya 17 kali setiap salat seorang muslim mengucapkan doa untuk ditunjuki kepada jalan yang lurus (Qs. 1:6). Allah Swt hanya memberikan dua jalan kepada manusia,  yakni jalan yang sesat dan jalan yang lurus. Jalan sesat merupakan jalan yang salah serta menuju kepada kejahatan.  Sedangkan jalan lurus merupakan jalan yang penuh kenikmatan yang akan mengantarkan kepada kebaikan dan kebenaran. Jalan kesesatan akan mengantarkan pelakunya kepada neraka,  sedang jalan yang lurus akan mengantarkan pelakunya kepada surga.  Puasa yang benar dan tulus akan menghantarkan setiap umat Islam kepada jalan kebaikan. Nabi Saw menyatakan bahwa ketika tiba bulan Ramadan,  pintu surga akan terbuka sedangkan pintu neraka tertutup dan setan akan dibelenggu.  Untuk itu,  kemenangan yang diraih selama ramadan selain kesucian dan agama yang benar,  mereka akan mendapatkan jalan yang lurus yang akan mengarahkan mereka kesurganya Allah Swt. 

Untuk itu, nilai-nilai kemenangan itu akan menjadi ‘sempurna’ apabila setiap umat Islam mampu menjalankan setiap amal ibadah yang dikerjakannya selama Ramadan itu secara terus-menerus. Artinya, ia istiqamah (teguh pendirian) untuk mengerjakan setiap kebaikan yang dilakukannya selama Ramadan dan tetap terjaga di luar bulan ramadan. Hal inilah yang diharapkan oleh Allah dan rasul-Nya, bahwa ibadah dan kebaikan yang dilakukan itu hendaknya secara terus-menerus. Bukan justru, berhenti. Selesai Ramadan, selesai juga aktivitas ibadah yang dilakukan. Kejahatan dan kejelekan yang disembunyikan maupun ditahan selama bulan Ramadan justru kembali muncul lagi dalam dirinya. Seolah-olah aktivitas keagamaan yang dilakukan pada bulan ramadan tidak memberi bekas sama sekali. Kalau hal ini ada pada diri seseorang, maka kemenangan yang dia rayakan pada hari raya idul fitri menjadi tidak bermakna sama-sekali. Dia tidak akan mendapatkan keberkahan ramadan dan tidak akan mendapat derajat takwa disisi-Nya.

Untuk meraih kemenangan pada tanggal 1 Syawal ini. Hendaklah semua umat Islam untuk bisa kembali pada Fitrahnya. Yakni dalam arti memperoleh kesucian diri, mendapatkan kembali agamanya dengan benar dan mendapatkan jalan yang lurus dalam menjalankan aktivitas keagamaan dikemudian hari. Inilah yang seharusnya dicari dan dilakukan oleh setiap umat Islam. Sehingga, setiap ketemu Ramadan tiap tahunnya justru nilai keagamaan dan ketakwaan kita akan terus bertambah. Setiap merayakan hari kemenangan, kita juga merayakan bertambahnya keimanan dan ketakwaan kita itu. Dengan demikian, keimanan dan ketakwaan (dalam Qs.2:183) bisa diraih setiap tahunnya secara terus-menerus.  Mudaha-mudahan hal ini bisa kita wujudkan dalam kehidupan di dunia ini sampai ajal datang menjemput kelak. Semoga!

Rantau, 3 Juni 2019
#Mari Sebarkan Kebaikan#

Popular